MENGHIDUPKAN kembali GBHN kini telah menjadi mainstream issue. Isu ini seakan menemukan momentum metamorfosa kebangkitan pascakemenangan Jokowi dalam Pilpres 2019.
Klimaksnya pada konggres PDIP di Bali, lalu. Megawati kembali menegaskan, akan memperjuangkan amandemen kelima UUD 1945, agar GBHN dikembalikan menjadi kewenangan konstitusional MPR seperti semula.
Sebagai nahkoda the ruling party, pidato Mega, tidak boleh dianggap sepele. Gayung bersambut. MPR di sidang perdana bulan Agustus 2019 juga turut menegaskan, pentingnya amandemen terbatas UUD 1945.
Ide rekonstruksi GBHN, seolah menafikan sistem RPJPN yang telah langgeng diterapkan pascaamandemen UUD 1945. Bahkan dianggap haram, ketinggalan zaman dan kontra produktif dengan sistem presidensial yang kita anut.
Polemik demikian, harus disikapi dengan nalar argumentatif-konstitusional. Laksana anggur lama yang dikemas dalam botol baru, konsep GBHN versi Orde Lama, nyaris dikatakan gagal, karena hanya memuat pandangan dan sikap politik Soekarno.
GBHN di zaman Orde baru, sebetulnya berjalan sistematis dan terstruktur. Hanya saja personalisasi kekuasaan Presiden yang superior, mengakibatkan MPR mati suri dan hanya menjadi the rubber stamp, karena tidak berdaya menghadapi kooptasi eksekutif yang super power.
Ahistoris