Pintu Masuk Intoleran-Radikalisme

Photo Author
- Jumat, 8 Juni 2018 | 12:37 WIB

INI teori/konsep sederhana yang sudah sering dilupakan orang, tertelan kecanggihan aneka pola analisa kekinian. Menjadi biasa, yang sederhana terlupakan, padahal itu adalah pangkal yang esensial. Jadi tulisan ini tidak untuk menyanggah berbagai analisa yang ada sekarang, tapi melengkapinya di bagian depan.

Pancaindera

Bukan hanya dalam terbentuknya intoleranradikalisme, pintu yang menghubungkan manusia dengan dunia luar (dimulai) melalui pacaindera. Dalam pengenalan, termasuk terjadinya proses pembelajaran. Sederhana saja. Kenal rasa pedas kan dari indera pengecap saat (misal) makan sambal. Soal pedas dirasa sebagai sedap/nyaman atau siksaan, itu masalah pemaknaan, yang akan kita bicarakan belakangan. Tapi bahwa pintu masuknya pancaindera.

Dalam fenomena terbentuknya intoleransiradikalisme, hal yang sama juga terjadi. Diawali dengan penangkapan pancaindera. Apa yang dilihat tentang keragaman warna kulit atau bentuk rambut, juga makan nasi, roti, sagu. Apa yang didengar suara tetangganya yang semangat meledak-ledak, sementara di keluarganya bicara lembut.

Semua itu baru contoh masuknya sesuatu dari dunia luar ke dalam dirinya. Pancaindera membawanya masuk. Bagi balita sebagai ëpenyerap ulungí, semua yang masuk itu diserap tanpa filter baik-buruk, salah-benar. Tapi jangan lupa, mahasiswa atau orang berumur pun masih banyak yang bersikap seperti itu. Pancainderanya terbuka lebar, jadi pintu (asal) masuk berbagai hal.

Sekalilagi, teori sederhana ini layak jadi penyegaran. Setelah pancaindera memasukkan sesuatu, hampir pasti terjadi pemaknaan terhadap apa yang ditangkap. Sederhana, gunakan saja pola kognitif-afektif-psikomotorik.

Kognitif itu adanya di kepala. Afektif di dada, psikomotorik di tangan dan kaki. Artinya kognitif itu di pikiran, lalu disikapi secara afektif dan psikomotorik itu eksekusi. Saat pancaindera memasukkan data tentang sambal terasi lewat lidah dan hidung, ada tekstur lembut, pedas, dan aroma khas. Semuanya akan diolah, disikapi, dan dieksekusi. Bisa jadi ëkapok lombokí (bilangnya kapok kepedesan, tapi besoknya ketagihan mau lagi), bisa juga muncul pemaknaan yang lain. Pemaknaan ini bukan sesuatu yang bebas nilai, karena pengaruh pihak lain bisa saja dominan, khususnya mereka yang kurang trampil menganalisa dan menyikapi sesuatu. Bahkan ada yang dari penerimaan data dari pancaindera, langsung jalan pintas ke eksekusi.

Pancaindera Milenial

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: ivan

Tags

Rekomendasi

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB
X