KEMENAG pada 18 April 2018 berencana meluncurkan aplikasi Sistem Informasi Pengawasan Terpadu Umrah dan Haji Khusus (Sipatuh), setelah beberapa kali dilakukan semacam soft-launching. Dan Situs Kemenag (kemenag.go.id) memberitakan, sepekan sebelumnya (12/4) dibahas MoU tentang data jemaah umrah dengan Dukcapil dan Imigrasi. Seturut UU No. 14/2008 data jemaah memang termasuk ëdata yang dikecualikan’. Sehingga perlu pembahasan khusus terkait keterbukaan informasi publik.
‘Lesson Learn’Kebijakan
Langkah ini merupakan tindak lanjut kerja sama Menteri Agama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengkaji kemungkinan korupsi dalam penyelenggara haji. Hasilnya berupa identifikasi KPK tentang titik rawan penyelenggara haji-umrah disampaikan dalam rapat dengar pendapat DPR Mei 2010 (Antara, 18/5/2010). Titik-titik rawan penyelewengan yang ditemukan KPK selama 14 bulan penelitian (2009-2010) itu meliputi tujuh titik kerawanan regulasi, enam kerawanan kelembagaan, 28 titik masalah tata laksana dan tujuh titik kerawanan manajemen SDM. Tentu saja semua itu harus diwaspadai untuk diperbaiki-- dan ternyata tidak dilakukan.
Kemungkinan penyelewengan itu sudah menjadi modus lama dan sudah dipraktikkan oleh pelanggarnya dulu. Tercatat pada 1960-an peristiwa serupa sudah terjadi (dikenal sebagai Kasus Yamu'alim), yang merugikan entah berapa ratus orang. Kita berbesar hati dengan langkah Kemenag tadi. Sebaliknya, publik mencatat betapa Komnas Haji dan Umrah lebih suntuk menyoal berbelitnya regulasi pengurusan izin usaha PPIU --terakhir Permenag No 18/2015-- ketimbang perlindungan kepada jemaah.
Justru Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) yang merekomendasikan Kemenag untuk mengambil langkah-langkah efektif perlindungan konsumen pada 2016. Mungkin merupakan implementasi rekomendasi itu, Kemenang meluncurkan ëProgram 5 Pasti Umrah’ yang menyasar jemaah dengan kekuatannya sebagai imbauan. Di masa mendatang hendaknya Kemenag kian tanggap terhadap masukan dari publik maupun dari lembaga seperti KPK dan Ombudsman. Lembaga pengawasan ini pertengahan April juga sudah memberi catatan kritis kepada Kemenag.
Kementerian ini sudah seharusnya menjalani hijrah move-on, tidak sekadar suntuk pada rutinitas teknis atau berhenti pada publikasi tentang perencanaan yang apik belaka. Arsip digital menunjukkan bahwa pada 2010 Kemenag dikabarkan sudah merintis pelaksanaan pelayanan haji-umrah berbasis ISO 9001:2008 (Dinamika Haji Indonesia, 2010). Tapi yang terlihat akhirakhir ini dalam kasus First Travel dan ABU Tour adalah justru cerita inkompetensi.
Korban yang dizalimi PPIU jahat sudah mencapai sekitar 200 ribu orang dalam dua tahun terakhir, dengan melibatkan jumlah uang lebih Rp 3 triliun. Besaran kasus yang luar biasa itulah yang membuat publik geram. Tampak nyata betapa rentetan kasus pelanggaran, manipulasi informasi, pensiasatan aturan, lemahnya pengawasan, dengan modus yang berulang, terlambat menjadi lesson learn sebagai internal determinant pembuatan kebijakan.
Belajar dari KPU