Pilkada dalam Pusaran Korupsi

Photo Author
- Sabtu, 24 Februari 2018 | 04:50 WIB

PARTAI politik hendaknya segera berbenah diri seraya bergegas memperbaiki sistem perekrutan kader serta pola pendekatan kepada masyarakat dalam masa kampanye pemilihan kepala daerah tahun 2018 yang sudah dimulai 15/2/18. Sebab sistim demokrasi faktanya lebih dahulu muncul daripada partai politik. Akan tetapi sistem tersebut nihil terbangun tanpa adanya wadah aspirasi politik yang menjadi instrumen suksesi kekuasaan. Yang menjadi alat/sarana bagi warga negara menyalurkan aspirasi dan lumbung penawaran calon pemimpin negara.

Proses demokratisasi tidak mungkin eksis tanpa partai politik dan sistem kepartaian (Supriyanto dkk, 2010). Proses elektoral tahun ini disebut banyak pihak sebagai lahan ‘pemanasan’ menuju pileg pilpres 2019. Sejak awal pencalonan, para kandidat sudah harus mengeluarkan biaya untuk mempersiapkan pendaftaran, meski tidak langsung diberikan kepada partai pendukung. Sementara kajian Litbang Kemendagri yang dikutip media nasional memperkirakan biaya kampanye pemilihan gubernur berkisar Rp 20M - Rp 100M, bupati/walikota Rp 20M - Rp 30M. Sungguh biaya finansial yang fantastis dan menimbulkan pertanyaan. Bagaimana mungkin kandidat kepala daerah mampu membiayai hal tersebut secara mandiri?

Politik Transaksional

Kasus Bupati Subang Imas Aryumningsih yang tertangkap OTT KPK mengungkap, uang yang disita akan digunakan sebagai modal untuk pilkada serentak Kabupaten Subang 2018. Hal ini makin meneguhkan bahwa politik transaksional dalam pilkada memang benar adanya. Alih-alih rakyat diberi materi atau program kampanye yang bermanfaat, yang terjadi justru pemberian dana transaksional sudah menjadi hal yang lumrah muncul.

Dalam skema penyelenggaraan pemilu, terdapat pelaporan atas biaya transaksi selama masa kampanye yang wajib dilaporkan kepada publik melalui KPU sebagai penyelenggara teknis. Laporan ini diserahkan pada H-I masa kampanye kali ini 15 Februari - 23 Juni 2018. Proses ini diharapkan mencerminkan jumlah riil berapa jumlah pemasukan dan jumlah pengeluaran yang terjadi.

Namun berdasarkan pencermatan yang dilakukan sejak pilkada serentak 2015, proses pelaporan tidak lebih hanya sebatas saduran angka-angka yang diyakini kontestan sebagai cashflow formal guna menggugurkan kewajiban sebagai syarat. Hingga kini belum pernah ada dalam sejarah pemilu Indonesia pasangan calon didiskualifikasi karena temuan manipulasi dana kampanye (Fariz, 2016).

Dalam kewenangannya, Pengawas Pemilu sesungguhnya mempunyai kesempatan untuk memastikan apakah laporan dana kampanye sesuai atau tidak dalam pelaksanaan lapangan. Hasil ini sebetulnya merupakan pintu masuk untuk melakukan penelusuran. Apakah pasangan calon mempunyai sirkulasi pendanaan yang sesuai dengan aktivitas di lapangan atau justru mempunyai saldo minus. Sementara aktivitas di lapangan sangat ramai dilakukan.

Deklarasi

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: ivan

Tags

Rekomendasi

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB
X