Empat Pilar Pendidikan UNESCO

Photo Author
- Kamis, 8 Februari 2018 | 08:50 WIB

DUNIA pendidikan di Indonesia awal Januari 2018 digemparkan oleh penganiayaan seorang pelajar di Sampang yang mengakibatkan guru kehilangan nyawa. Sebelumnya, Mei 2016 seorang mahasiswa di Medan menganiaya dosen Nurain Lubis (63) hingga tewas karena mahasiswa semester VI FKIP kerap diberi peringatan karena tidak serius mengikuti kuliah.

Oktober 2017 lalu Guru Sekolah Dasar Negeri (SDN) 7 Pelaihari Suprihatin harus dirawat di RSUD Hadi Boejasin Pelaihari karena dianiaya orangtua murid. Diduga orangtua tidak terima anaknya ditegur tidak menggenakan sepatu. Sebelumnya, Agustus 2016 Guru Dasrul yang menegur siswa yang tidak membawa buku pelajaran malah ditantang berkelahi. Siswa juga menelepon orangtua dan kemudian bersama-sama mengeroyok Guru SMKN 2 Makassar.

Peristiwa kekerasan di sekolah, relatif banyak dijumpai. Peristiwa di muka hanyalah sebagian kecil yang ‘tercium’ media massa. Artinya, jika mau mengritisi perihal kekerasan yang terjadi di dunia pendidikan, saatnya sistem pendidikan ditinjau kembali.

Empat Pilar

Harus diakui selama ini pendidikan di Indonesia baru sebatas retorika teoretis dalam mengamalkan empat pilar pendidikan sebagaimana diamanatkan United Nations Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO) yaitu cabang organisasi Perserikatan Bangsa Bangsa yang mengatur bidang pendidikan, keilmuan, budaya dan komunikasi. Empat pilar tersebut adalah learning to know, learning to do, learning to be, learning to live together yang oleh berbagai bangsa lain telah diamalkan secara konsisten dan konsekuen. Bagaimana dengan kita, apakah semua institusi pendidikan di Indonesia sudah mengamalkannya?

Empat pilar sebagaimana tersebut di atas tentunya bukan hal yang bisa disepelekan implementasinya, mengingat telah disepakati bersama dalam suatu konvensi internasional. Mengacu pada empat pilar tersebut di atas, pendidikan mestinya bukan hanya mampu mengarahkan peserta didik pada penguasaan keilmuan (knowing) dan implementasinya (doing). Seharusnya juga mampu membentuk manusia yang berkepribadian normatif (being) serta mampu beradaptasi dan bertoleransi di manapun, di lingkungan manapun mereka berpijak atau berada (living together). Hasil pendidikan di Indonesia secara nyata masih menunjukkan kelemahan dalam menghasilkan lulusan yang memiliki budi pekerti luhur yang mampu menghormati orang lain. Terkadang hak-hak orang lain pun diabaikan.

Banyak contoh yang terjadi di sekitar kita yang biasa kita alami sehari-hari, misalnya dalam berlalu-lintas, berkendara, merokok di depan umum, meludah di jalan saat berkendara, membuang sampah sembarangan. Juga mencaci-maki orang lain secara tidak proporsional, mengeraskan knalpot kendaraan, membunyikan klakson keras-keras saat jalanan macet. Semua kejadian ini tidak pernah terjadi di banyak kota di mancanegara. Lalu apakah yang salah dengan pendidikan kita?

Beberapa Faktor

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: ivan

Tags

Rekomendasi

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB
X