POLRESTA Tangerang membongkar kasus pedofil yang dilakukan tersangka WS alias Babeh. Korbannya pun tidak sedikit, 41 anak laki-laki berusia 10-15 tahun (25 anak sudah terbukti positif korban WS). Perilaku keji ini sudah berlangsung sejak April sampai Desember 2017. Anak-anak belia tersebut diiming-imingi dengan ilmu semar mesem.
Ironis. Padahal sejak 2014 telah diterbitkan Inpres nomor 5 tahu 2014 tentang Gerakan Nasional Anti-kejahatan Seksual Terhadap Anak (GN-AKSA). Salah satu isi inpres tersebut melibatkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk melakukan beberapa hal strategis. Ada empat hal yang harus dilakukan, yaitu : (1) Meningkatkan kualitas materi pendidikan agama dan budi pekerti; (2) Memasukkan ke dalam kurikulum tentang hak dan kewajiban anak, kesehatan reproduksi, dan pemberdayaan anak; (3) Melindungi anak disatuan pendidikan dari kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik dan tenaga kependidikan serta pihak lain dalam lingkungan sekolah; dan (4) Memberikan sanksi berat terhadap pendidik dan tenaga kependidikan yang lalai melaksanakan tugasnya yang mengakibatkan terjadinya kejahatan seksual dan kekerasan terhadap anak.
Fakta yang ada, kasus kekerasan seksual anak tetap saja terjadi secara masif dan cenderung disembunyikan orangtua karena dianggap sebagai aib keluarga. Pada September 2017, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) merilis data bahwa tahun 2015 telah terjadi 218 kasus kekerasan seksual anak. Pada 2016 terjadi 120 kasus dan 116 kasus di tahun 2017.
Memanusiawikan Kurikulum
Ternyata GN-AKSAbelum bertransformasi secara nyata di lapangan. Kebijakan yang diambil masih tampak sebagai letupan-letupan kasus per kasus. Membangun sistem perlindungan belum terintegrasi di semua lini yang bersentuhan dengan dimensi kehidupan anak yang paling mendasar, yaitu ranah pendidikan.
Kebijakan pemerintah tentang kurikulum pendidikan belum seluruhnya berpihak kepada pendewasaan siswa. Sebagai contoh kurikulum mata pelajaran Biologi, yang di dalamnya terdapat kompetensi sistem reproduksi manusia, tidak dapat memberi alternatif solusi terhadap permasalahan ini. Materi sistem reproduksi masih saja berkutat pada tuntutan menghafal nama organ dan mekanisme reproduksi.
Budaya masyarakat timur yang menjunjung tinggi sopan-santun menjadi argumen pembenar untuk tidak mengenalkan materi sistem reproduksi secara utuh. Akibatnya banyak realitas aneh yang muncul saat pembelajaran sistem reproduksi. Nama-nama organ reproduksi tidak pernah muncul dari mulut anak saat berdiskusi karena dianggap ‘saru’. Nama-nama ilmiah itupun justru diganti dengan istilah paraban. Kenyataan ini membuat kelas yang seharusnya tempat diskusi ilmiah justru dibawa ke ranah diskusi pasar dengan tema seks sebagai tertawaan. Para guru pun seolah mengiyakan situasi ini dengan membagi kelas menjadi kelas laki-laki dan perempuan. Siswa menjadi penghafal nama-nama organ reproduksi.
Siswa mampu mengerjakan soal ujian nasional tentang reproduksi, namun tidak mampu menjelaskan kesalahan mitos seputar seks saat ngobrol bersama orang lain. Penulis mengalami sendiri berbagai pertanyaan konyol yang diajukan para siswa. Mulai dari berciuman menyebabkan hamil, saat menstruasi tidak boleh keramas, sampai lahir melalui udel. Mestinya, pertanyaan seperti ini tidak perlu dihindari para guru dan orangtua, namun dijadikan sebuah kesempatan untuk memberi pemahaman yang benar.