Ketiga, pengaruh game dan film-film yang menawarkan kultur kekerasan. Sudah bukan rahasia lagi, film-film sinetron dan game yang beredar di kalangan anak-anak umumnya sarat dengan tindak kekerasan. Anak-anak yang secara psikologis masih mengembangkan perilaku imitatif, mereka biasanya dengan mudah terpengaruh, dan ikut-ikutan melakukan aksi yang sama.
‘Counter Culture’
Aksi pemalakan yang dilakukan sejumlah preman cilik di Yogyakarta, pada akhirnya telah berhasil ditangkap polisi. Para preman cilik yang semula tampil garang menggertak korban akhirnya meminta ampun dan menangis di hadapan polisi. Masalahnya sekarang: walau pun aksi premanisme yang dilakukan anak-anak itu telah berkali-kali berakhir di kantor polisi, tetapi kenapa anak-anak yang lain sepertinya tidak pernah jera? Kenapa di balik komitmen aparat kepolisian menangkap para preman, justru lahir preman-preman cilik yang makin garang?
Memberantas aksi preman cilik, berbeda dengan memberantas preman dewasa yang profesional. Untuk mengeliminasi agar aksi preman cilik tidak makin menjadi-jadi, yang dibutuhkan sesungguhnya adalah pendekatan counter culture. Yakni pendekatan yang berbasis pada upaya mendekonstruksi subkultur anak marginal. Dan kemudian menawarkan subkultur tandingan yang mampu menyalurkan energi mereka. Sikap ngejago anak-anak tidak mungkin dihilangkan. Yang bisa kita lakukan adalah bagaimana menyalurkan dalam koridor yang masih bisa ditoleransi.
(Dr Rahma Sugihartati. Dosen FISIP Universitas Airlangga. Mengajar dan menulis buku tentang Subkultur Anak Muda. Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Rabu 27 Desember 2017)