SELAIN mengakibatkan korban jiwa, hujan lebat akibat siklon Cempaka di selatan Pulau Jawa berdampak negatif bagi sektor pertanian di Yogyakarta. Harian Kedaulatan Rakyat (29/11) mewartakan, lahan tanaman melon siap panen dan kolam pembibitan ikan di Bantul mengalami kerugian besar akibat tergenang banjir. Kondisi ini kian runyam dengan rusaknya infrastruktur jalan dan jembatan di beberapa titik.
Sejauh ini, penulis memang tidak mendapatkan informasi terkini tentang tersendatnya jalur distribusi hasil pertanian dari daerah menuju kota. Makanan instan atau warung burjo memang masih mudah diakses sehingga problem kelangkaan pangan belum terasa. Terlebih aplikasi online memungkinkan masyarakat kota sebagai konsumen untuk tetap dapat makan tanpa harus berbasah-basah di tengah badai. Namun, bukan tidak mungkin apabila kondisi cuaca masih tidak menentu hingga beberapa hari ke depan dan jalan-jalan penghubung masih belum dapat diperbaiki, pasokan pangan ke kota mulai terganggu.
Kelangkaan produk sayur, buah, telur, dan ikan di pasar akibat faktor alam pastilah menyulitkan rumah tangga biasa dan usaha rumah makan untuk memenuhi kebutuhan akan pangan. Apalagi cuaca ekstrim belakangan ini tentu berisiko baik bagi konsumen, distributor, maupun pedagang makanan yang melakukan perjalanan keluar rumah. Dari sini pertanyaan kemudian muncul: sudah siapkah penduduk di kota-kota Indonesia, khususnya Yogyakarta, dalam berketahanan pangan bila terjadi darurat kelangkaan bahan makanan?
Urban Farming
Menyiapkan menu instan dan kalengan adalah solusi praktis di kala keadaan darurat. Tetapi ransum kaleng cepat atau lambat pasti akan habis. Dari segi kebutuhan gizi, perlu juga dipertimbangkan dampaknya bagi kesehatan jika mengonsumsi makanan instan terus menerus.
Untuk mengimbangi kelemahan tersebut, alternatif lain agar warga tetap mampu berketahanan pangan di tengah bencana ialah melakukan pertanian kota (urban farming). Perlu dipahami bahwa urban farming tidak hanya sekedar kegiatan menanam sayur atau buah saja. Beternak hewan di lingkungan kota juga termasuk. Mengapa urban farming bisa menjadi solusi?
Pertama, meskipun butuh waktu, tidak seperti makanan kaleng, produk kebun sendiri bisa panen berkali-kali sehingga lebih cocok untuk keperluan jangka panjang berkelanjutan. Sayur kangkung sebagai tanaman yang mudah dikembangkan misalnya, cukup membutuhkan waktu 3 minggu untuk panen. Memelihara ikan lele di kolam maupun ayam petelur di halaman rumah untuk bahan lauk menarik pula dipertimbangkan. Di sisi lain, kandungan gizi hasil panen sendiri juga lebih terjamin.
Kedua, dari segi tempat, urban farming relatif lebih aman daripada lahan terbuka seperti sawah yang rentan terkena banjir. Selain bisa memanfaatkan ruang di rumah, media tanam berupa pot dan pipa paralon bisa sewaktu-waktu diamankan di tempat terlindung bila cuaca tidak bersahabat. Meski demikian, tak bisa dipungkiri bila urban farming memiliki kelemahan. Biaya perawatan dan modal tinggi membeli alat hidroponik, risiko gagal panen, serta kesadaran pangan jangka panjang yang masih lemah adalah beberapa di antaranya.