TERMANGGUT-manggut menyimak esai Agus Iswanto berkepala ‘Guru Berkualitas Menurut Sastra Jawa’ (KR, 24/11). Agus membeberkan model guru idola dan jempolan sesuai pitutur yang tersekam dalam beberapa serat kuno. Serat Makutharaja yang menjadi koleksi Kraton Yogyakarta, misalnya, ditafsirkan guru kudu dilambari ketulusan hati (kajog) dalam mendidik, tidak sombong (sudapraya) dan mempunyai ilmu pengetahuan yang cukup di bidangnya (agnya namandra).
Sayangnya, Agus tidak mengetengahkan contoh tokoh guru berkualitas untuk dapat dipelajari dan diambil keteladanan. Esai ini hendak membincangkan seorang guru Jawa sekaligus sastrawan terkemuka yang punya peran penting dalam jagad pendidikan kita.
‘Angka Siji’
Lelaki ini kelahiran Klaten. Tugasnya tak berhenti di kelas, mengawani peserta didik mencecap ilmu. Dari jemarinya, menetes belasan buku yang digandrungi banyak orang periode 1915-1943. Ia dinyatakan sebagai pengarang sastra Jawa dari zaman Balai Pustaka yang produktif. Pria ini bernama Raden Tumenggung Yasawidagda (1885-1958).
Memulai debut sebagai guru di sekolah angka siji di Solo tahun 1906. Kinerjanya bagus dilirik pemerintah Belanda, lantas diminta memegang sekolah di Kendal, dan dioper ke Ngawi sebagai mantri guru. Kedigdayaannya sebagai pendidik dan ‘tukang angon’ bocah diuji ketika diminta bergabung membesarkan Algemmene Middelbare School di Solo (1925-1932). Institusi pendidikan setingkat sekolah menengah atas ini bak besi sembrani dan laris. Pada era 1926, tercatat sekolahan ini sudah memperoleh murid lebih dari 100 orang. Mereka berasal dari Ambon, Batak, Padang, Aceh, Betawi, Priyangan, Madura, Sumatra, Bali, dan Jawa bagian tengah, serta kelompok Tionghoa dan Belanda. Sekolah yang mengembangkan bidang sastra Timur ini dinahkodai pakar sejarah Indonesia kuno, Dr Stutterheim.
Karena banyak siswa dari tanah sabrang, dibuatkan asrama. Merujuk Gouvernementbesluit 28 Juni 1926 No 30, Yasawidagda ditunjuk memegang internaat Hapsara yang dibuka Juli 1926. Umumnya, asrama dipimpin orang Belanda bergaji f 300-350 perbulan. Uniknya, asrama AMS ini justru dipegang Yasawidagda yang notabene orang Jawa. Pertimbangannya, ia dianggap bisa mendampingi siswa belajar adat, tata cara dan Bahasa Jawa.
Dalam Serat Pengetan Gesangipun Yasawidhagdga (1950) dikabarkan, aktivitas dan pola hidup penghuni pondokan diatur rapi di bawah asuhan Yasawidagda. Sepulang sekolah, pukul 16.00 WIB mereka leluasa memainkan musik keroncong. Kemudian pukul 17.00-19.00 WIB boleh bermain ke luar asrama. Waktu belajar pukul 19.00-20.00 WIB, dan disusul santap malam sampai pukul 21.00. Setelah itu, penghuni asrama dipersilakan istirahat, entah tidur maupun belajar. Saban Sabtu, penghuni makan enak sembari belajar rupa-rupa cara bersantap seperti idheran (pelayan keliling), prasmanan, pesta, dan cara Jawa. Mempelajari aneka model makan tersebut, dengan harapan mereka tidak memalukan atau mengecewakan jika kelak menjadi tokoh atau orang penting.
Sastra Timur