Memang tampaknya pesan dari ‘Sastra Ageng Adidarma’ditujukan untuk umum. Tetapi, dalam konteks ini, karena guru adalah kunci pendidikan, maka guru orang pertama yang harus mencontohkan untuk senantiasa belajar dengan cara membaca buku-buku yang berisi ilmu pengetahuan maupun membaca pengalaman. Yakni mengamati perilaku anak didiknya agar dapat mendidik dengan cara yang tepat.
Dalam ‘Kakiyasaning Pangrecutan’ anggitan dalem Sultan Agung koleksi Kraton Yogyakarta disebutkan juga beberapa ciri guru berkualitas, yakni: nastiti (ajarannya tidak kacau), nastapa (guru harus punya keberanian dalam amal zuhud), kulina (berani terhadap semua perbuatan benar), diwasa (dewasa dalam berpikir, bertindak dan berbuat), santosa (berwatak teguh, lurus dan kuat), engetan (cerdas pikirannya, tidak ragu mengamalkan ilmu, tidak pelupa), santika (tidak cacat secara mental maupun fisik), dan lana (berpendirian teguh, tidak ingkar janji dan luas pengetahuannya) (Muslich KS, 2006: 37).
Kecuali itu semua, banyak sumber budaya yang bisa dijadikan inspirasi dalam menghasilkan kualitas guru dan pendidikan yang lebih baik. Namun, yang lebih penting dari itu semua adalah mempraktikannya. Sebab menurut ‘Serat Wulangreh’ karya Pakubuwana IV, ilmu kelakone kanthi laku (ilmu terwujudnya dengan perbuatan).
(Agus Iswanto. Peneliti pada Balai Litbang Agama Semarang; Anggota Pengurus Pusat Masyarakat Pernaskahan Nusantara. Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Jumat 24 November 2017)