BELAKANGAN ini kita sedang dihadapkan pada situasi minus yang cenderung destruktif bagi bangunan kebangsaan kita. Yaitu, penguatan identitas keagamaan yang dibarengi dengan penebalan resistensi atas identitas keberagamaan liyan, yang berbeda.
Ini tentu pemungkiran atas pesan-pesan para pendiri negara agar agama menjadi semacam kompas yang mengarahkan kita pada penguatan kebangsaan dan persatuan dalam kebinnekaan. Bung Karno menegaskan dalam pidato 1 Juni 1945 : â€... Marilah kita semuanya berTuhan. Hendaklah negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara berkebudayaan, yakni dengan tiada egoisme-agama...â€
Sukarno melihat bahwa Sila Ketuhanan mestinya mewujud sebagai pemandu kita untuk beragama secara leluasa dan berkebudayaan. Penegasan ‘tiada egoisme-agama†merupakan refleksi dari potensi sosial bahwa agama mungkin disalahpahami warga Indonesia untuk membuat mereka menjadi egois. Pendeknya, Bung Karno berhikmat bahwa Ketuhanan menghendaki adanya toleransi agama, yaitu kehendak untuk tidak bersikap dan berperilaku egois atas nama agama.
Bung Hatta
Dalam Pidato Peringatan lahirnya Pancasila di Gedung Kebangkitan Nasional, 1 Juni 1977 Bung Hatta berpesan kepada bangsa di balik penjelasan mengenai makna dan fungsi Sila Pertama Pancasila. â€Dasar Ketuhanan Yang Maha Esa jadi dasar yang memimpin cita-cita negara kita, yang memberikan jiwa kepada usaha menyelenggarakan segala yang benar, adil dan baik... Ketuhanan Yang Maha Esa tidak lagi hanya dasar hormat menghormati agama masing-masing-masing, melainkan jadi dasar yang memimpin ke jalan kebenaran, kebaikan, kejujuran persaudaraan...â€
Bung Hatta memaknai, Ketuhanan yang Maha Esa meletakkan agama dalam dua fungsi utama bagi interaksi internal dan eksternal pemeluknya. Pertama, fungsi eksternal pemeluk agama, yakni sikap saling menghormati. Kedua, fungsi internal pemeluk agama, yakni ‘dasar yang memimpin ke jalan kebenaran, kebaikan, kejujuran dan persaudaraan’. Intinya, Hatta memandang Pancasila sebagai ideologi yang meniscayakan toleransi, sebagai jalan menuju tercapainya kebenaran, kebenaran, kebaikan, kejujuran dan persaudaraan.
Sukarno dan Hatta dalam pandangan di atas sejatinya hendak menegaskan bahwa kerukunan, rasa kebangsaan dan persatuan dalam berbangsa hanya bisa tumbuh apabila seluruh entitas partikular agama meletakkan secara sukarela kebangsaan dan kemanusiaan dalam posisi yang sejalan dengan keberagamaan bangsa Indonesia. Penguatan keagamaan seseorang dan manefestasi agama dinisbatkan pada keluhuran toleransi sebagai etika sosial dalam etika kemanusiaan dan kebangsaan.
Ideal seperti dipikirkan dan diujarkan dua Proklamator Kemerdekaan RI tersebut mengandaikan adanya toleransi antarsesama bangsa dalam naungan Pancasila, utamanya sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Maksudnya adalah toleransi dalam maknanya yang otentik, yang belakangan meluntur bahkan dalam tingkatan tertentu disalahpahami dan dicurigai sebagai agenda untuk mendiskreditkan kelompok keagamaan tertentu.