TULISAN Bambang Arianto berjudul ‘Meme Politik dan Warganet’ di harian KR (9/11) menarik untuk ditindaklanjuti. Tulisan tersebut hanya sampai pada uraian umum meme politik dan perilaku masyarakat digital. Uraian tersebut juga tidak sampai pada yang lebih substansial yaitu fenomena yang terjadi sekarang ini. Termasuk masa depan demokrasi di Indonesia pascapelaporan penyebaran meme politik yang melibatkan Ketua Umum Partai Golkar, Setya Novanto (pelapor) dan kader Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Dyan Kemala Arrizqi (terlapor).
Diakui atau tidak, meme politik merupakan ekspresi kritis yang dilakukan publik dalam menyikapi perilaku politik. Meme politik merupakan sarana paling murah-meriah dalam menegur serta mengingatkan pemerintah. Meme politik berbeda dengan aksi kritis jalanan yang menelan biaya. Dengan kesadaran tinggi, meme politik dilakukan sebagai upaya untuk mengkritisi secara jenaka tanpa mengekspresikan kebencian yang membabi buta.
Konsekuensi Logis
Era digital telah menggiring publik menerima konsekuensinya. Dunia politik pun tidak akan pernah melenceng dari bidikan era digital. Meme politik juga merupakan konsekuensi logis yang harus diterima oleh negara demokrasi. Sebagai negara demokratis, meme politik merupakan hal yang niscaya. Tanpa itu, dunia politik akan semakin kaku karena tidak dapat menerima produk digital.
Namun semakin lama, kebebasan di dunia maya dianggap sangat membahayakan. Meme politik tidak lagi dianggap sebagai bagian dari warna-warni demokrasi, melainkan ‘kanker’ demokrasi. Humor yang mengikat di dalam meme politik tidak lagi dianggap sebagai kritik yang halus. Melainkan ancaman politik, penyebar kebencian, dan menyinggung privasi orang lain. Padahal, jika kita melihat beberapa meme di surat kabar, tidak jarang menampilkan karikatur, kartun, dan lain sejenisnya yang menggelitik, kritis, dan menohok.
Jika kita mengorelasikan meme politik dengan para tokoh di Indonesia, tentu saja sangat banyak. Pasalnya, meme politik lahir sesuai dengan isu yang terjadi di waktu itu pula. Tidak mungkin warganet membuat meme hari ini, sementara momentumnya masih lama sudah lewat. Inilah mengapa Giddens (1984) memandang bahwa struktur yang dapat dilihat sesuai dengan konteks di mana struktur itu terbentuk. Karena itu, terlepas dari proses hukum yang berjalan sekarang, meme Setya Novanto lahir di waktu yang bersamaan dengan keadaan atau situasi yang dialami.
Dalam realitas demokrasi, eksistensi meme politik harus diasosiasikan sebagai bagian dari warna demokrasi. Sebab, demokrasi memberikan seluas-luasnya kepada publik untuk mengkritisi secara terbuka. Ekspresi publik lewat meme politik, merupakan penisbatan media sosial sebagai pilar demokrasi baru. Artinya, media sosial telah sejajar dengan media konvensional. Bahkan, media sosial menjadi penguat demokrasi ketika media konvensional belum mampu memberikan kesadaran politik kepada masyarakat. Media sosial lahir sebagai jembatan penghubung.
Kesadaran Publik