Potret Buram Hubungan Industrial di Indonesia

Photo Author
- Sabtu, 4 November 2017 | 22:41 WIB

INSIDEN meledaknya pabrik Mercon di Kosambi Kabupaten Tangerang akhir bulan lalu, yang menewaskan 47 orang dan 46 lainnya luka-luka, mencerminkan potret buram adanya hubungan industrial yang masih jauh dari kata baik. Pernyataan ini bukan tanpa alasan. Pasalnya, pascakejadian tersebut, mulai terungkap beberapa kejanggalan seperti tidak diterapkannya prosedur keselamatan kerja yang sesuai dengan izin pengajuan, minim alat pemadam kebakaran, tanpa emergency exit, terakhir kondisi gudang yang pengap dan bising.

Padahal pabrik mercon merupakan sektor pekerjaan berisiko sangat tinggi, yang harus dikelola secara preventif, tanpa harus menunggu musibah datang. Jika ditilik lebih jauh, persoalan ini bukan sesederhana perkara operasional teknis semata. Ada pelajaran berharga yang bisa dipetik dari meledaknya pabrik mercon ini. Inilah permasalahan politik asimetri yang telanjur memburit dalam dunia ketenagakerjaan di Indonesia sehingga melegitimasi berkembangnya kesewenang-wenangan dalam pabrik.

Politik asimetri secara sederhana dapat dimaknai sebagai situasi dimana tenaga kerja tidak memiliki bargaining position untuk menuntut hak-haknya kepada perusahaan. Sehingga perusahaan kerap mempersepsikan pekerja sebatas alat produksi yang digunakan untuk mengakumulasi keuntungan. Implikasinya, loyalitas pekerja dituntut sedemikian tinggi, namun tidak sebanding dengan apa yang didapat pekerja. Laiknya sebuah mesin yang digunakan secara maksimal, kalau ‘rusak’ langsung dibuang untuk ditukar dengan yang baru. Lain ceritanya jika pekerja dipandang sebagai ‘mitra’. Apa yang dicapai pekerja tentunya sebanding dengan apa yang diterima.

Situasi politik asimetri ini ditengarai faktor tingginya permintaan kerja yang tidak berimbang dengan ketersediaan lapangan kerja penduduk. Sebagaimana rilis BNPTKI, jumlah angkatan kerja saat ini mencapai kurang lebih 177 juta orang, dari total 248 juta jiwa penduduk Indonesia. Tiap tahun, angkatan kerja baru dapat mencapai 2,9 juta jiwa dengan didominasi lulusan Sekolah Dasar (SD) dan SMP mencapai 68%. Namun demikian, bonus demografi yang cukup besar ini tidak diimbangi dengan kualitas SDM yang memadai untuk masuk kedalam pasar tenaga kerja domestik, yang juga terintegrasi dalam struktur pasar global.

Terkuaknya sedikit demi sedikit kondisi kerja di PT Panca Buana Cahaya Sukses seperti: masih ditemukannya pekerja di bawah umur yang di antaranya bahkan berusia 13 tahun. Juga beban kerja tinggi yang tidak sebanding dengan skema upah yang didesain harian hanyalah sebatas fenomena gunung es. Semua ini sebetulnya merefleksikan kasus-kasus politik asimetri antara pekerja dan perusahaan di Indonesia.

Negara Lain

Di negara-negara kesejahteraan yang tergabung dalam liga Skandinavia sekalipun, butuh waktu yang tidak singkat untuk memperkuat posisi pekerja dalam proses politik kebijakan publik di negara mereka. Hal itu bermula dari reforma agraria selama pra-industri, yang menciptakan kelas menengah petani, yang kemudian membuat mereka memiliki basis modal untuk mendirikan partai politik kelas petani (dan pekerja) sampai hari ini. Situasi ini juga didukung oleh relasi antara otoritas publik dan organisasi sosial yang ada diwujudkan melalui sistem koorporatisme, terutama dalam penyusunan kebijakan sosial, ekonomi, serta pelayanan-pelayanan kesejahteraan (Kurniawan, 2009: 74). Hal inilah yang membuat demokrasi di negara-negara tersebut dapat secara nyata berdampak pada kesejahteraan seluruh pekerja, baik dari sisi lingkungan kerja yang memadai sampai jaminan sosial yang komprehensif.

Di Indonesia sebaliknya, pola pengorganisasian kebijakan publik masih dibayangi logika semi-demokratis, yang disertai dengan hubungan patron-klien. Situasi demikian membuat masyarakat sipil dan serikat pekerjanya lemah. Meskipun begitu, bukan tidak mungkin bagi Indonesia untuk mereplikasi jalan yang ditempuh Skandinavia. Salah satunya dengan memperkuat sistem tripartit plus satu. Maksudnya, selain melibatkan antara perusahaan, pemerintah, dan serikat pekerja, perlu juga melibatkan organisasi sipil yang fokus pada isu ketenagakerjaan untuk turut ambil bagian dalam pengaturan ketenagakerjaan di Indonesia.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: ivan

Tags

Rekomendasi

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB
X