SECARA umum, seksisme bisa diartikan sebagai diskriminasi terhadap entah perempuan entah laki-laki yang disebabkan oleh jenis kelamin mereka. Diskriminasi tersebut dibuat dengan alasan-alasan yang tidak relevan dan sebagian besar mengadaada.
Dalam lanskap patriarkal, perempuan kerap menjadi korban utama seksisme. Banyak aturan yang mendiskriminasikan perempuan. Seperti tidak boleh ke luar malam sendirian, pembatasan terhadap akses pendidikan dan pekerjaan. Serta pandangan bahwa perempuan wajib mengerjakan tugas-tugas domestik.
Diskriminasi
Bahasa tidak bisa lepas dari konstruksi patriarkal. Diskriminasi dalam lingkungan sosial kemudian menjalar ke dalam bahasa, mencemari beberapa kata dan memelintir sejumlah kata lainnya. Tak heran, bermunculanlah kata-kata yang maknanya berubah buruk, sempit dan seksis terhadap perempuan.
Sebagai contoh adalah kata ‘pelacur’. Kata ini jamak dipakai masyarakat, bahkan hadir pula dalam banyak karya sastra. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata ‘pelacur’ diartikan sebagai ‘perempuan yang melacur; wanita tunasusila; sundal’. Berasal dari kata dasar ‘lacur’ yang tidak berjender, kata ini sertamerta menjadi seksis saat menjelma ‘pelacur’. Bahasa Indonesia menciptakan konstruksi bahwa pelacur hanya berlaku untuk perempuan. Sementara itu, laki-laki yang melacurkan diri bebas dari label ‘pelacur’.
Contoh lainnya adalah kata ‘cerewet’. Kata ini sering dihubungkan dengan perempuan. Konstruksi patriarkal melekatkan perempuan sebagai makhluk yang banyak bicara; suka mengomel, nyinyir, bawel. Hal ini tercermin dalam KBBI ketika memberikan contoh kata ‘cerewet’: "pembantu rumah tangga biasanya tidak suka bekerja pada nyonya rumah yang cerewet". Kata ‘cerewet’ini serupa dengan ‘gosip’. Selain dilabeli cerewet, perempuan juga sering dikaitkan dengan kebiasaan menggosip.
Tidak semua kata seksis terdapat dalam kamus atau tercatat dalam tesaurus. Masih banyak kata yang mendiskriminasikan perempuan tersebar dan dipakai oleh masyarakat. Kata ‘mandul’, umpamanya. Dalam lagu Mandul yang dibawakan oleh Rhoma Irama dan Elvy Sukaesih, pihak yang dituduh mandul adalah sang istri. Isi lagu tersebut merupakan cerminan pola pikir masyarakat. Bila sepasang suami istri tidak memiliki anak maka pihak yang tertuduh mandul adalah istrinya. Mengabaikan fakta secara medis bahwa baik perempuan maupun laki-laki berpotensi mengalami kemandulan, kenyataan tersebut memperlihatkan seksisme dari kata ‘mandul’.
Sejumlah contoh di atas hanyalah bukti kecil dari kondisi Bahasa Indonesia saat ini yang ternyata masih menyimpan banyak ‘sampah’ dalam wujud kata-kata seksis. Lewat bahasa, sikap seksisme seolah dibiarkan dan terbiakkan dengan sendirinya.