Bisnis Air dan Toleransi Ekologis

Photo Author
- Rabu, 4 Oktober 2017 | 18:32 WIB

AIR zaman ini menjadi komoditas perdagangan cukup menarik. Apalagi air pada prinsipnya sangat dibutuhkan dalam kehidupan. Semua aktivitas kehidupan tak berlanjut saat air menjadi langka. Produksi pertanian dan pangan membutuhkan air. Terutama pada saat musim kemarau. Begitu juga dengan aktivitas rumah tangga. Setiap saat air dipergunakan untuk mencuci baju, piring, dan menanak nasi.

Produksi air kotor dari aktivitas ini ikut bertambah setiap hari, bulan dan tahun tidak bisa berkurang. Air kotor sisa aktivitas rumah tangga dan perkantoran hanya terbuang dengan sia-sia. Padahal kebutuhan akan air untuk keperluan minum setiap hari terus meningkat. Setiap orang dewasa harus minum air sekitar 1-1,5 liter. Kalau jumlah penduduk sekitar 250 juta jiwa maka sudah bisa tahu berapa banyak air harus habis setiap hari untuk keperluan minum.

Harga air pasti bertambah mahal. Disamping karena kebutuhan dari berbagai sektor kehidupan juga karena pertumbuhan penduduk meningkat. Akhirnya tidak dipungkiri kalau perilaku pragmatis juga turut mempengaruhi naiknya kebutuhan akan air. Sudah tidak mau memasak air ledeng untuk buat minum teh dan kopi. Rasa percaya akan kebersihan air sudah luntur dan dianggap air kemasan perusahaan selalu air bersih.

Air Kemasan

Inginnya, air langsung bisa diminum dan tak perlu dimasak maka air kemasan baik gelas, botolan dan galon laku keras dipasaran. Berbarengan dengan realita ini, akhirnya penambangan air tak bisa dihentikan karena kebutuhan masyarakat cukup tinggi. Semua sumber air dijadikan sebagai komoditas dagangan.

Begitu juga dengan air pada kawasan pegunungan, telah diplot menjadi kawasan perusahaan air. Ke depan makin banyak lagi kawasan gunung yang harus diplot untuk memproduksi air. Bertambah pula gunung-gunung mati jika pada kawasan gunung banyak aktivitas merusak lingkungan. Sedangkan mengambil air saja dari gunung sedikit atau banyak berdampak terhadap ketersediaan air dalam jangka panjang.

Kekeringan makin luas lagi pada saat alihfungsi gunung untuk peruntukan pertanian dan non pertanian (villa dan perumahan). Sudah banyak kawasan gunung menjadi gundul karena digunakan untuk kebun sawi, kubis, cabai, dan tanaman pangan. Sudah bisa dibayangkan berapa luas nanti titik kekeringan pada musim kemarau?

Bahkan kekeringan bisa lebih parah lagi karena jumlah penduduk makin banyak dan kebutuhan akan pangan, buah-buahan dan sayuran meningkat. Air irigasi mutlak ada untuk memproduksi komoditas tersebut. Sementara mata air pada waduk ikut mulai mati dan kalau tidak mati maka jumlah air tidak cukup untuk mengairi sawah. Makin luas daerah kekeringan maka berdampak makin luasnya suatu daerah kekurangan pangan dan sayursayuran. Padahal, perluasan bukan tak bermasalah terhadap air. Hilangnya kawasan hutan untuk kawasan perkebunan turut mempersempit keberadaan hutan alam.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: ivan

Tags

Rekomendasi

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB
X