ADA seorang ibu warga Bantul yang terus-menerus menolong sesama. Dia sendiri bukan orang yang berkecukupan. Seorang janda tanpa pekerjaan tetap. Dia menolong dengan cara, menyampaikan informasi, mendatangi langsung pihak berwenang di pemerintah atau tokoh-tokoh masyarakat yang dia anggap bisa menolong. Mula-mula, dia gigih mencari bantuan untuk anaknya agar bisa bersekolah. Kemudian, dia menolong tetangga warga miskin yang anaknya terhambat untuk melanjutkan pendidikan. Kebiasaannya ini berlanjut sampai tahapan dia mencari informasi anak-anak warga kurang mampu yang terhambat biaya pendidikannya. Lalu, dia menyampaikannya kepada pihak-pihak terkait. Hebatnya, ibu ini seorang tunanetra.
Peran mediasi yang dijalankan ibu ini luar biasa. Dia sendiri punya banyak keterbatasan tetapi merelakan waktu dan tenaganya untuk menolong sesama melalui cara memediasi. Dia tidak mengambil keuntungan atau meminta fee dari upaya mediasinya itu. Saya sering menggunakan kisah nyata ini sebagai salah satu bentuk pengamalan Pancasila, penerapan nilai-nilai Pancasila dalam praktik hidup sehari-hari. Saya tahu pasti, ibu tersebut bekerja dengan menggunakan naluri, kerelaan dan ketulusan hati. Bahkan, mungkin dia tidak tahu bahwa dirinya sedang mengamalkan nilai Pancasila.
Secara Konsekuen
Kisah nyata ini sering saya gunakan pula untuk menjawab pertanyaan kalangan tertentu yang menyatakan bahwa Pancasila telah gagal sebagai ideologi maupun sumber nilai dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hal ini juga sering diajukan sebagai alasan kehendak untuk mengganti Pancasila sebagai ideologi negara dengan ideologi selain Pancasila. Bangsa dan negara tidak kunjung makmur dan berkeadilan sosial. Saya juga balik bertanya, apakah Pancasila memang sudah diterapkan secara konsekuen, secara benar dan sungguhsungguh dalam kehidupan bangsa ini?
Kita tidak dilatih untuk membedakan antara ‘apa yang seharusnya’ dilakukan dalam suatu Negara berdasarkan Pancasila dengan ‘apa yang senyatanya’ dipraktikkan dalam bermasyarakat, berbangsa, dan negara. Pertanyaan besarnya, apakah liberalisme, pasar bebas, federalisme, kapitalisme, individualisme, dan demokrasi ‘semi-parlementer’berbasis voting sesuai dengan nilai dan ajaran Pancasila? Kita masih punya pekerjaan besar untuk ‘membumikan Pancasila’ agar yang senyatanya dipraktikkan mendekat ke arah yang seharusnya sesuai dengan ajaran dan nilai Pancasila. Masih banyak yang harus dikerjakan oleh bangsa ini agar seluruh tatanan dan praktik bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sesuai benar dengan Pancasila. Bagaimana mungkin dibilang Pancasila ‘gagal’, lha wong diterapkan secara baik dan benar pun belum sepenuhnya terjadi?
Pembumian nilai dan ajaran Pancasila itu, bagi saya, bisa dimulai dari praktik sederhana dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat. Praktik berpancasila dalam penyelenggaraan bernegara adalah suatu kerja besar dan penting, banyak hal yang masih perlu diselesaikan, diselaraskan, diluruskan, dan disempurnakan, namun nilai dan ajaran Pancasila harus menjadi kesadaran nasional dari bangsa ini. Suatu kesadaran nasional untuk segera dan sebisa mungkin diterapkan dalam praktik kehidupan. Perilaku Pancasila pada tiap-tiap individu anak bangsa akan menjadi penyangga penting terwujudnya masyarakat Pancasila, masyarakat yang mampu mendekatkan antara ‘yang seharusnya’ dan ‘yang senyatanya’ dalam praktik hidup sehari-hari. Penerapan Pancasila yang tumbuh dari bawah, tumbuh dari prakarsa warga bangsa.
Kerelaan
Perjuangan mediasi yang dibawakan ibu tunanetra dari Bantul itu, contoh konkret dari semangat hidup berpancasila, yaitu tolong-menolong dan gotong-royong. Upaya itu, sepintas terlihat sederhana dan gampang dilakukan. Tetapi, tindakan ibu ini butuh kerelaan, keikhlasan, dan keberanian dengan suatu rasa percaya diri untuk menyakinkan para pihak agar bergotongroyong menolong. Ibu ini bukan meminta-minta, tetapi meyakinkan kepada para pihak, bahwa pendidikan bagi generasi muda punya nilai strategis dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, menjadi tanggung jawab bersama.