MULAI 2018, parpol melalui kepengurusannya di tingkat nasional akan menerima subsidi negara sebesar Rp 1.000 per suara sah. Jumlah ini naik sangat signifikan dibandingkan dengan periode sebelumnya, dimana bantuan parpol sebesar Rp 108 per suara sah. Publik merespons keputusan pemerintah ini secara berbeda-beda. Pro dan kontra muncul. Mereka yang setuju dengan kebijakan ini yakin bahwa subsidi negara akan mengurangi elitisme dan oligarkhi di internal parpol serta mengurangi korupsi politik. Sedangkan mereka yang kontra mempertanyakan pengelolaan keuangan internal parpol yang tidak transparan dan akuntabel. Serta pesimis bahwa kebijakan ini akan mengurangi korupsi politik.
Tidak sedang mengambil posisi pro atau kontra, tulisan ini akan membahas empat dimensi utama pertimbangan penting dalam mematangkan desain kebijakan subsidi negara kepada parpol. Dimensi pertama adalah jumlah minimal (bukan ideal) untuk pembiayaan parpol dalam kurun waktu tertentu. Berapa sebenarnya jumlah pembiayaan minimal dalam setahun untuk setiap parpol di Indonesia? Sejauh ini, kita belum melihat hasil kajian dari pemerintah untuk menjawab pertanyaan ini. Padahal hal ini justru yang menjadi dasar bagi penentuan jumlah subsidi negara yang akan diberikan. Karena jumlah pembiayaan parpol ini masih kabur, tidak mengherankan jika parpol selalu merasa tidak cukup atas subsidi negara. Sebaliknya, publik juga selalu merasa bahwa jumlah subsidi negara yang diberikan terlalu besar.
Setelah mendapatkan gambaran yang jelas atas angka minimal untuk pembiayaan parpol, kita juga perlu memiliki formula yang jelas terkait dengan seberapa besar subsidi negara yang akan diberikan dari jumlah minimal pembiayaan parpol. Apakah subsidi negara akan minimal (sekitar 25%), sedang (50%), atau tinggi (75%)? Atau, apakah kita akan mengalokasikan sekian persen dari APBN kepada parpol? Termasuk dalam keputusan besaran alokasi ini adalah argumen dan konsekuensi dari masing-masing besaran. Mengapa kita mengalokasikan subsidi negara yang rendah? Apa konsekuensi dari subsidi negara kepada parpol yang sangat tinggi, terutama kepada parpol itu sendiri? Sayangnya, sampai sejauh ini, kita juga belum desain yang ada dari pemerintah.
Ketiga adalah dimensi bentuk dari subsidi negara kepada parpol. Selama ini berkembang kesalahan persepsi bahwa subsidi negara yang diberikan kepada parpol harus dalam bentuk uang. Padahal uang hanya menjadi salah satu bentuk subsidi negara. Masih banyak bentuk subsidi negara yang lain. Salah satu contoh adalah pembiayaan kampanye oleh negara agar berjalan dengan adil. Contoh yang lain adalah berbagai bentuk fasilitasi yang diberikan oleh negara untuk aktivitas-aktivitas yang mengarah pada pelaksanaan fungsi pendidikan politik.
Dimensi keempat adalah pengelolaan subsidi negara. Hal ini bersifat internal dan eksternal. Secara internal, pengelolaan subsidi negara sebenarnya terintegrasi dengan pengelolaan keuangan partai secara keseluruhan. Isu yang paling utama adalah kelangkaan transparansi dan akuntabilitas atas tata kelola keuangan internal partai. Hal ini juga sangat terkait dengan kondisi demokrasi internal partai yang masih rendah. Dengan demikian, subsidi negara dari parpol seharusnya dibarengi dengan menguatnya transparansi dan tata kelola keuangan parpol agar tidak mengukuhkan elitisme dan oligarkhi di tubuh parpol.
Secara eksternal, pengelolaan keuangan dari subsidi negara juga perlu melibatkan lembaga-lembaga terkait, terutama BPK dan KPK. Subsidi negara adalah dana publik yang sebagian berasal dari pajak. Masyarakat sebagai pembayar pajak tentu saja perlu diyakinkan bahwa dana yang dikeluarkannya untuk pembiayaan parpol bersifat efektif (tepat sasaran) dan efisien (seoptimal mungkin). Selama ini, tidak saja untuk kepengurusan parpol di tingkat nasional, tapi juga kepengurusan parpol di tingkat lokal, penggunaan subsidi negara masih memiliki banyak permasalahan. Juga penegakan aturan main terkait dengen makanisme punishment atau disentif bagi parpol yang pengelolaannya keuangannya buruk.
Parpol adalah barang publik. Mereka bukan barang privat. Karenanya, pengelolaannya juga harus bersifat publik. Saat ini tingkat kepercayaan masyarakat kepada parpol sangat rendah. Paling rendah dibandingkan dengan lembaga politik dan pemerintahan yang lain. Kebijakan untuk meningkatkan subsidi negara kepada parpol menjadi momentum yang tepat untuk merealisasikan parpol sebagai barang publik sehingga dapat mendongkrak tingkat kepercayaan publik kepadanya. Sebaliknya, tanpa dibarengi dengan desain yang matang, dengan kebijakan ini negara justru akan memperkuat karakter privat (elitisme, oligarkhi, dan transaksional) di tubuh parpol. Jika demikian, kebijakan ini akan memperkuat model partitokrasi dalam sistem politik kita sehingga meningkatkan korupsi politik.
(Dr Mada Sukmajati. Dosen di Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM. Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Rabu 30 Agustus 2017)