ESAI ini tidak bermaksud menandingi esai Syahrul Kirom berkepala ‘Kemerdekaan Ekonomi’, (189). Dijelaskannya, perekonomian adalah tulang punggung paling dasar dalam membangun peradaban Bangsa Indonesia. Frasa ‘kemerdekaan ekonomi’ menarik untuk diulas lebih lanjut.
Dengan memakai perspektif historis, tulisan ini merunut gagasan kemerdekaan ekonomi nasional yang dicita-citakan para pendiri bangsa. Tepatnya 28 Mei 1945, dilangsungkan upacara peresmian BPUPKI bertempat di gedung Cuo Sangi In, jalan Pejambon Jakarta (sekarang gedung Departemen Luar Negeri). Jenderal Itagaki (Panglima Tentara Wilayah Ketujuh yang ngepos di Singapura dan membawahi pasukan yang bertugas di Indonesia) dan Letnan Jenderal Nagano (Panglima baru Tentara Keenambelas di Jawa) menghadiri sidang tersebut. Peristiwa ini telah membangkitkan spirit para anggota dalam upayanya mempersiapkan Kemerdekaan Indonesia.
BPUPKI dalam seluruh sidangnya tak lupa membahas persoalan ekonomi nasional. Sidang pertama 29 Mei 1945, yang menyinggung masalah ekonomi bangsa adalah Soesanto Tirtoprodjo, dan itu pun hanya sekilas. Dikemukakan bahwa yang menjadi soko guru dari negara Indonesia merdeka, yaitu: (1) Pemerintahan yang sesuai dengan kehendak rakyat. Itu berarti perlu adanya Badan Perwakilan Rakyat atau parlemen; (2) Badan Kehakiman yang satu untuk segenap penduduk dan bebas dari pengaruh badan-badan pemerintahan; (3) Perekonomian yang teratur dan terbatas menurut kebutuhan masyarakat, ini berarti membuang pemikiran ‘liberalisme’; (4) Pendidikan rohani dan jasmani seluas-luasnya dengan menjauhkan sifat-sifat intelektualisme dan materialisme (RM AB Kusuma, 2004).
Pemikiran Liberalisme
Pada poin ketiga, Susanto menekankan betapa pentingnya ekonomi nasional dijauhkan dari pemikiran liberalisme. Aspek ekonomi yang digagas menjadi salah satu fondasi Bangsa Indonesia kelak haruslah mengikuti kebutuhan masyarakat. Secara teoretis, ekonomi nasional Indonesia apabila mengikuti paham liberalisme cenderung berdampak negatif bagi rakyat Indonesia. Pemerataan pendapatan sulit dicapai karena mengikuti pola ekonomi pasar bebas, dan memungkinkan dapat menimbulkan sifat-sifat mementingkan diri sendiri. Ekonomi liberal pada tataran praktik, menyediakan peluang seluas mungkin bagi pihak swasta memonopoli dan memegang kendali ekonomi rakyat lantaran menguasai alat produksi. Sementara pemerintah memiliki wewenang mengawasi dan melakukan kegiatan ekonomi yang berhubungan dengan penyelenggaraan negara.
Bisa dimaklumkan Susanto menelurkan pendapat bahwasanya perekonomian Bangsa Indonesia harus diatur dan dibatasi negara merupakan pilihan terbaik. Jika pemerintah bersikap menyerahkan sepenuhnya kegiatan ekonomi pada permainan pasar, maka kekuatan modal Belanda yang mapanlah yang akan terus menguat dan menekan ekonomi rakyat kecil. Ekonomi rakyat kecil dalam sistem pasar bebas liberal bisa dipastikan tidak mempunyai peluang untuk berkembang (Wasino dkk, 2014).
Soepomo kemudian mengulas relasi negara dan ekonomi. Masih berpegang staats idee integralistik, menurutnya, sistem sosialisme negara seyogianya diterapkan pada sektor ekonomi. Saya comotkan petikan pidatonya: â€Perusahaanperusahaan yang penting akan diurus oleh negara sendiri... Pada hakikatnya negara yang menguasai tanah seluruhnya. Tambang-tambang yang penting untuk negara akan diurus oleh negara sendiriâ€.
Menarik mencermati pidato Soepomo tentang hubungan negara dengan ekonomi kala itu sudah menggarisbawahi pentingnya pengelolaan beberapa perusahaan oleh negara. Seperti perusahaan listrik, lalu lintas (transportasi) dan hutan diakui sebagai perusahaan yang sifatnya vital dan menyangkut kehidupan orang banyak. Dapat kita tafsirkan bahwa founding fathers pada rapat pembentukan negara Indonesia merdeka sangat memperhatikan sistem ekonomi nasional yang perlu diterapkan Bangsa Indonesia. Beberapa perusahaan yang disebutkan di atas tidak bisa diserahkan atau dikelola kepada swasta atau pribadi.