SATU ton beras cukup untuk mengenyangkan masyarakat satu desa. Sementara satu ton narkoba mampu merusak masyarakat sekabupaten. Itulah ungkapan yang cocok untuk menunjukkan betapa dahsyat efek negatif narkoba.
Indonesia saat ini sedang darurat narkoba. Bagaimana tidak, dalam satu bulan terakhir Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dan Badan Narkotika Nasional (BNN) berhasil menangkap sindikat pengedar barang haram itu dalam jumlah yang begitu besar. Pada 13 Juli 2017, tim gabungan Direktorat Reserse Polda Metro Jaya dan Polresta Depok berhasil menggagalkan penyelundupan satu ton sabu asal China di Serang, Banten. Beberapa hari kemudian, 21 Juli 2017, polisi berhasil mengungkap sindikat internasional dari Belanda dengan barang bukti 1, 2 juta butir ekstasi.
Jumlah itu fantastis, bahkan menjadi yang terbesar dalam sejarah penangkapan narkoba di Indonesia. Di satu sisi membanggakan, tapi di sisi lain memprihatinkan. Membanggakan karena polisi dan BNN mempunyai itikad yang sungguh-sungguh dalam memerangi narkoba. Memprihatinkan sebab kuantitas yang besar itu menjadi indikator bahwa Indonesia menjadi sasaran empuk sindikat narkotika internasioanal.
Potensial
Dengan luas perairan mencapai 8.800.000 kilometerpersegi dan perairan terluar 95.000 km, Indonesia sangat potensial bagi masuknya jaringan narkotika internasional. Di sinilah pentingnya mengajak TNI untuk sama-sama menjaga beranda terdepan Indonesia dari sebuan jaringan narkotika internasional. Karena, makna kedaulatan maritim saat ini tidak saja terletak pada sejauh mana mampu menjaga teritorial Indonesia dari ancaman negara asing. Melainkan juga mampu menjaga Indonesia agar tidak diobok-obok oleh sindikat narkotika internasional.
Disamping itu, pembangunan infrastruktur yang lamban di daerah terluar Indonesia membuat celah yang begitu menganga, sehingga gampang dimanfaatkan para kartel narkoba sebagai jalan masuk ke Indonesia. Banyaknya 'jalur tikus' dan medan terjal di daerah perbatasan, justru dimanfaatkan untuk menyelundupkan barang haram tersebut ke wilayah Indonesia.
Apalagi, saat ini, Filipina yang notabene menjadi sasaran empuk para bandar internasional mampu bersikap keras. Presiden Duterte memimpin langsung operasi penangkapan bandar narkoba. Bahkan, tak tanggung-tanggung ia memerintahkan untuk menembak mati di tempat. Ia seolah tak mengindahkan persoalan hak asasi-manusia, demi melindungi bangsanya dari efek negatif narkoba.
Melemahnya jaringan narkoba di Filipina akan membuat mereka mengalihkan ke negaranegara terdekat yang lemah dalam penegakan hukum. Dan, Indonesia adalah salah satunya. Hal ini terbukti dari banyaknya para oknum brengsek yang terlibat dalam praktik haram tersebut. Bukti terakhir terjadi pada 16 Juli 2016 ketika Satuan Reserse Narkoba Polresta Bandar Lampung menangkap seorang hakim berinisial FA karena terlibat dalam jaringan narkoba. Dan penghasilan fantastis dari bisnis barang haram itu membuat siapa saja gampang tergiur.