Kebebasan dan Kemerdekaan

Photo Author
- Senin, 14 Agustus 2017 | 22:19 WIB

KEBEBASAN tidak identik dengan kemerdekaan. Tetapi, apalah artinya kemerdekaan tanpa kebebasan (berpikir, bertindak, berperilaku dan berorganisasi, termasuk kebebasan menjalankan ajaran agama sesuai keyakinan masing-masing). Kemerdekaan tanpa kebebasan identik penindasan dan dipastikan berbuah kesengsaraan. Kemerdekaan merupakan peluang mengaktualisasikan kebebasan agar daripadanya lahir kebahagiaan.

Peran manusia sebagai warga negara, penyelenggara negara, ‘abdillah dan khalifatullah, hanya dapat ditunaikan secara maksimal bila padanya melekat kebebasan. Kemajuan peradaban suatu bangsa, sangat ditentukan seberapa besar bangsa bersangkutan mampu mengaktualisasikan kebebasannya. Demi hidup dan kehidupan bersama dalam naungan ridla Allah SWT.

Persoalannya, apakah kebebasan itu mutlak ataukah ada batasnya? Jawabnya, pasti ada batasannya. Tiada kebebasan absolut, mutlak, tanpa batas. Liberalism absolut hanya ada pada Allah SWT. Manusia sebagai makhluk, sejak awal kehidupannya telah diberi kebebasan sedemikian luas, tetapi dilarang untuk satu hal saja. Kisah Nabi Adam AS dan Hawa di surga perlu diingat dan dijadikan rujukan untuk memaknai kebebasan kehidupan di dunia.

Pada zaman kerajaan Majapahit, kebebasan dibatasi dengan Pancasilakrama, berisi lima larangan, meliputi 1)Tidak boleh melakukan kekerasan, 2)Tidak boleh mencuri, 3)Tidak boleh berjiwa dengki, 4)Tidak boleh berbohong dan 5)Tidak boleh mabuk minuman keras. Pada zaman kerajaan Mataram Islam, kebebasan dibatasi dengan larangan Ma-lima, mencakup, 1)Dilarang mabok (minum khmar dan sejenisnya), 2)Dilarang main (judi, togel, taruhan dan sejenisnya), 3)Dilarang madon (zina, selingkuh, lesbian, seks bebas, gay dan sejenisnya), 4)Dilarang madat (narkoba, ganja dan sejenisnya) dan 5)Dilarang maling (mencuri, menipu, korupsi, merampok dan sejenisnya). Kita kenang, ketika rakyat dan penguasa pada dua kerajaan tersebut memiliki kebebasan luas dan hanya dilarang berbuat pada lima hal saja, ternyata hasilnya luar-biasa. Zaman kemakmuran, keadilan, bahkan keemasan diraihnya. Namun kisah umat terdahulu di zaman kebodohan (jahiliah), mereka hanya mengikuti aturan-aturan Allah SWT selama hal itu sejalan dengan hawa nafsunya. Sementara itu bila dipandangnya tidak menguntungkannya, mereka mengingkarinya.

Pada 72 tahun usia kemerdekaan RI, ternyata sebagian bangsa ini belum mampu mendewasakan diri dalam memaknai kebebasan dan kemerdekaannya. Dalam berbagai pemberitaan, kita melihat kejahatan korupsi, narkoba, seksual dan sejenisnya, semakin marak di mana-mana. Larangan-larangan dalam Pancasilakrama maupun Ma-lima, dilanggar dengan kesengajaan, baik sendiri-sendiri, ataupun bersekongkol. Perbuatan-perbuatan keji tersebut dilakukan oleh orang-orang yang bermartabat rendah, bahkan lebih rendah dari martabat hewan. Bagi mereka, kebebasan identik dengan kesesatan.

Pancasila dalam posisi dan fungsinya sebagai philosophische grondslag Indonesia, cakupannya lebih luas daripada Pancasilakrama maupun Ma-lima, mestinya, diamalkan sepenuh hati atas dasar kesadaran, tanpa paksaan. Sila kesatu 'Ketuhanan Yang Maha Esa', mestinya dipahami secara utuh sebagai sila yang menjiwai sila-sila lainnya. Berawal dari sila ke satu, kebebasan dan kemerdekaan perlu disyukuri sebagai rahmat Allah SWT. Dari sanalah akan muncul manusia adil dan beradab, gemar persatuan, gemar bermusyawarah, gemar menebar keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Tokoh masyarakat, agamawan, cendekiawan, dan ulama berperan penting dalam mengajarkan makna kebebasan dan kemerdekaan kepada manusia lainnya. Adalah kewajiban semua komponen bangsa untuk tunduk dan taat pada ajaran kebebasan dalam bingkai Pancasila. Merdeka adalah kebebasan dalam bingkai Pancasila itu.

Kita berlindung kepada Allah SWT, agar diajukan dari faham liberalisme. Boleh jadi penganut faham ini tergolong mereka yang mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah). Mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah). Mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: ivan

Tags

Rekomendasi

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB
X