Saatnya faktor keluarga jadi penentu. Orangtua misalnya perlu memberi teladan yang konsisten dalam menghayati nilai-nilai kehidupan yang ingin diinternalisasikan pada remaja. Nilai-nilai yang sudah disemaikan dalam keluarga seyogianya dipelihara di sekolah. Sebagai contoh, terhadap hal-hal negatif seperti berbohong atau mencontek, orangtua di rumah dan guru di sekolah, sama-sama harus mengambil sikap asertif (tegas), tanpa harus bertindak arogan atau represif. Remaja perlu mengetahui alasan mengapa kedua hal negatif tersebut perlu dijauhi.
Belajar Mandiri
Di satu pihak remaja ingin mandiri, tapi di lain pihak mereka belum terampil untuk mandiri. Ini wajar, karena bagian-bagian otak yang mengendalikan penalaran, perencanaan, dan pemecahan masalah belum sepenuhnya berkembang (Steinber, Land Levine A, 1997). Upaya mengembangkan kemandirian itu dilakukan remaja melalui cara berperilaku, berpikir, dan meyakini sesuatu. Dalam konteks ini, remaja membutuhkan seting yang terbatas untuk bertumbuh.
Perlu diketahui, tingkat stres remaja sekarang lebih tinggi dari pada remaja generasi sebelumnya. Kehidupan remaja sekarang tak terpisahkan dari dinamika masyarakat mutakhir yang secara keseluruhan ditandai oleh kapitalisme global dengan pola hidup konsumtif.
Apa yang terjadi di Indonesia, sesungguhnya merupakan gejala yang terjadi di mana-mana. Globalisasi menyangkut selera dan cita rasa, secara kuat tercermin dalam cara berpakaian, konsumsi makanan serta informasi. MTV dan internet sudah sangat diakrabi oleh para remaja.Tanpa sadar, melalui berbagai piranti teknologi tersebut selera kaum remaja kita didikte oleh kepentingan ekonomi global.
Maka, ujian terberat bagi orangtua dewasa ini tidak terletak pada bagaimana mereka menjadi orangtua bagi remaja. Tetapi bagaimana mereka mengantisipasi hal-hal yang tak bisa diramalkan terjadi pada remaja mereka.
(John de Santo MM. Dosen ASMI Santa Maria Yogyakarta, pengasuh Rumah Belajar Anak Bhineka. Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Sabtu 12 Agustus 2017)