DEMOKRASI kita belakangan ini, baik di dunia real maupun dunia virtual menampakkan dua anomali: inflasi kebebasan dan kaburnya kebenaran. Keduanya berpangkal pada satu masalah utama yaitu lemahnya kesadaran kewargaan. Kesadaran kewargaan yang dimaksud adalah kesatuan pengetahuan, sikap dan perilaku yang mengekspresikan identitas personal sebagai aktor politik yang merdeka dan berorientasi pada merawat dan memajukan negara sebagai arena hidup bersama publik.
Setelah hampir dua dekade, reformasi tampak belum berhasil membangun elemen vital demokrasi itu. Padahal tanpa itu, demokrasi hanya akan menjadi arena para demagog yakni orang-orang yang memanfaatkan demokrasi untuk kepentingan-kepentingan anti demokrasi.
Pada masa lalu, rezim Orde Baru (Orba) secara sistematis menumpulkan kesadaran warga negara sebagai subjek politik melalui Penataran P4, juga PMP meski tidak seluruh aspek dalam dua proyek tersebut buruk. Melalui dua program indoktrinatif tersebut warga negara diproyeksikan menjadi layaknya warga agama yang harus sami'naa wa atha'na.
Dampaknya, saat keterbukaan politik terjadi, kesadaran rakyat sebagai warga negara tak kunjung mapan. Hal yang dominan muncul, kesadaran mereka sebagai warga dari kelompok agama dan identitas primordial lainnya. Wajar jika hak pilih sebagai hak pokok politik mereka sangat dideterminasi oleh pemimpin agama.
Dalam situasi demikian, partai politik atau politisi pada umumnya merekrut para agamawan untuk menjadi pengepul suara atau menjadikan mereka makelar-makelar politik. Politisi dan partai politik lebih memilih memberi tokoh sejumlah ongkos materiil, daripada harus sosialisasi program kerja dan visi-misi parpol atau calon pejabat yang belum tentu berterima. Jika situasi tersebut dibiarkan, demokrasi hanya akan menjadi media tanam bagi patogen politik bernama oligarki elite, patronase, klientelisme, kartel politik, dan bahkan demagogi.
Langkah sistemik harus diambil untuk merekonstruksi kesadaran kewargaan tersebut. Pertama, melalui subjek pedagogis-andragogis pendidikan kewarganegaraan. Di era reformasi, sempat terbangun kesadaran untuk mencetak warga negara seutuhnya melalui Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Subjek kurikuler tersebut merupakan agenda demokratis untuk membangun kesadaran warga negara sebagai citizen atau demos sebagai elemen inti demokrasi. Sayangnya, kurikulum Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) tahun 2013 kini lebih banyak mengemban titipan muatan 'proyek' empat pilar. Situasi itu merupakan kemunduran, sebab membuka kultur titipan proyek pemerintah yang berkuasa dalam subjek kurikuler sebagaimana pada masa lalu.
Betul, bahwa melemahnya nilai-nilai Pancasila dan karakter bangsa memang harus kita respons, terutama dengan pendekatan integratif dan melalui program aksi secara massif. Namun pendidikan kewarganegaraan sebagai pendidikan politik dan pembelajaran demokrasi yang secara keilmuan kuat dan independen dari intervensi rezim, tetap kita butuhkan sebagai sebagian agenda dalam kurikulum demokratis untuk membangun kesadaran kewargaan.
Kedua, melalui partai politik. Seluruh buku babon dalam ilmu politik menegaskan, partai politik merupakan pilar pokok demokrasi. Dalam praksis politik, partai juga saluran utama rekrutmen penyelenggara negara. Secara teoretik, partai politik memangku salah satu fungsi pokok, yaitu pendidikan politik. Pendidikan politik oleh parpol idealnya berlangsung dalam dua aras; internal yaitu relasi mikro antar agen dalam partai dan eksternal yakni dalam relasi partai dengan warga negara pada umumnya.