HIMAS atau Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia diperingati setiap 9 Agustus. Yogya termasuk yang paling bersyukur karena adat istiadatnya diakui dan dihormati di republik ini. Dalam UUK DIY pasal 5 ayat (6) ditulis bahwa tujuan pengaturan. Keistimewaan DIY adalah pelembagaan peran dan tanggung jawab Kasultanan dan Kadipaten dalam menjaga dan mengembangkan budaya Yogyakarta yang merupakan warisan budaya bangsa. Yang diwujudkan melalui pemeliharaan, pendayagunaan, serta pengembangan dan penguatan nilai-nilai, norma, adat istiadat, dan tradisi luhur yang mengakar dalam masyarakat DIY.
Tidak sedikit masyarakat adat di seantero negeri ini yang masih terseok-seok dalam memperjuangkan hak adat mereka. Apalagi di seluruh dunia, masyarakat adat diabaikan dan dijadikan warga kelas dua. Maka, pada 13 September 2007 silam, PBB mengeluarkan Deklarasi tentang Hak-hak Masyarakat Adat. PBB turut memperjuangkan supaya berbagai masyarakat adat di seluruh dunia punya hak untuk menentukan nasib sendiri. Mereka semestinya bisa mengejar pembangunan ekonomi, sosial, dan budaya untuk kemajuan mereka sendiri. Kemudian, punya hak untuk mengembangkan ‘manifestasi’ adat masa lalu, sekarang, dan masa depan bagi kesejahteraan mereka sendiri.
Masyarakat adat atau di Indonesia dikenal sebagai masyarakat hukum adat merupakan sebuah entitas sosial-budaya tersendiri. Menurut PBB, indigenous people ini memiliki beberapa ciri utama: (1) Anggota atau warganya mempunyai ikatan perasaan dengan kelompoknya secara kuat. (2) Memiliki pranata pemerintahan adat tersendiri. (3) Memiliki dan mengembangkan benda-benda adat. (4) Memiliki dan mengembangkan norma-norma hukum adat yang khusus, (5) Memiliki wilayah adat tertentu sebagai tempat domisili dan sumber kehidupan. Jadi, masyarakat hukum adat merupakan masyarakat organik yang terikat dan mematuhi hukum adat.
Kehadiran negara terasa belum signifikan sekali dalam memberi perlindungan terhadap masyarakat adat. Menurut Sukirno (2014), pemerintah penjajahan Belanda dulu lebih peduli. Pada zaman Hindia Belanda, wilayah Dusun Depati Djentik dari suku Anak Dalam di Jambi misalnya, telah diakui dengan Surat Keputusan De Controleur van Moeara Tambesi tertanggal 20 November 1940 (Mrizki Maulana, 2013). Pada Pasal 62 Paragraf 3 Regeringsreglement tahun 1854, Pemerintah Hindia Belanda mengakui tanahtanah yang dibudidayakan dalam lingkup milik bersama komunitas adat di nusantara.
Sementara era Indonesia sekarang, masyarakat adat banyak terpinggirkan. Dalam kasus-kasus konflik sosial dengan para pengusaha perkebunan misalnya, mereka terabaikan. Sampai Juni 2010 saja, Pemerintah RI telah memberikan tak kurang dari 9,4 juta hektare untuk perkebunan kelapa sawit. Besaran itu akan meningkat menjadi 26,7 juta hektare pada 2020 kelak. Di satu sisi, Indonesia menjadi negara produsen minyak kelapa sawit mentah terbesar di dunia. Pada 2012 saja, devisa khusus ekspor produk ini sudah mencapai 19,65 miliar dolar atau setara dengan Rp 200 triliun. Tetapi bagaimana dengan nasib dan masa depan berbagai masyarakat adat yang secara asal-usul mewarisi kawasan itu?
Catatan Hanif Nurcholis (2017) menyebutkan, sistem perundangan di Indonesia masih belum cukup memberi perlindungan bagi masyarakat adat. Pada pasal 18B ayat (2) UUD 1945, negara memang harus mengakui dan menghormati masyarakat adat. Tetapi, terjemahannya di dalam UU No 6 Tahun 2014 tentang desa misalnya, penekannya justru lebih kepada tugas pemerintah untuk menata, membentuk, dan menetapkan kewenangan hukum adat. Bukannya mengakui dan menghormati, tetapi lebih ke arah mengontrol dan mengendalikan dalam hegemoni secara politis.
Lima tahun Keistimewaan DIY telah diakui dan dihormati secara khusus dengan undang-undang khusus pula. Yogya istimewa bukan hanya untuk dirinya. Yogya istimewa untuk Indonesia. Kita berpotensi menjadi rapuh manakala terjebak dalam konflik internal. Kita menjadi kuat manakala berkontribusi untuk turut merevitalisasi masyarakat-masyarakat adat lain yang ada di nusantara.
Pasal 5 UUK DIY mengamanatkan perihal pemeliharaan, pendayagunaan, serta pengembangan dan penguatannya. Hal itu memberi peluang besar untuk memajukan adat dalam konteks Keistimewaan Yogya. Pembaruan dan kemajuan adat di Yogya sangat diperlukan agar Yogya tidak berkutat menjadi kuna dan kaku. Adat istiadat Yogya yang semakin inovatif dan kreatif akan menjadi energi dinamis bagi revitalisasi masyarakat-masyarakat adat di Indonesia.