BEBERAPA hari lalu, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro mengumumkan rencana pemerintah untuk memindahkan ibukota Jakarta ke tempat lain. "Tempat itu harus di luar Jawa, kemungkinan Palangkaraya, meskipun tidak harus," tegasnya. Presiden Jokowi sudah mengajukan empat alasan utama mengapa ibukota harus dipindah dari Jakarta. Pertama, kota Jakarta sudah terlalu padat. Kedua, Kalimantan tidak rawan gempa. Ketiga, harus ke luar Jawa. Keempat, dana pemindahan ibukota jangan sampai membebani APBN, karena akan dicoba mengajak swasta untuk ikut membiayai.
Menurut saya masih ada opsi lain yang lebih masuk akal daripada rencana pemerintah yang terkesan mendadak ini. Mengapa terkesan mendadak? Pertama, daerah yang akan ditempati belum jelas. Menurut Presiden Jokowi, tanahnya harus 100% milik negara, sehingga tidak ada proses ganti rugi. Tetapi berapa luas tanah yang diperlukan? Lalu bagaimana rencana tata ruangnya? Saat ini belum ada gambaran yang tersedia untuk publik, agar publik dapat memberi masukan. Kedua, biaya yang tentunya mencapai ratusan triliun belum jelas sumbernya. Kalau harus berutang, saat ini utang pemerintah sudah mendekati lampu kuning karena sudah mendekati Rp 4.000 triliun. Kalau harus mengajak swasta, bagaimana skemanya?
Masuk Akal
Mari kita pikirkan ulang pemindahan ibukota dengan cara yang lebih masuk akal dan lebih mudah dikerjakan. Bagaimana ide dasarnya? Seharusnya Presiden, Wakil Presiden, Menteri Sekretaris Kabinet, Menteri Luar Negeri, Gubernur Bank Indonesia, harus tetap di Jakarta. Sedang menteri-menteri lainnya perlu dipindah ke seluruh Indonesia. Misalnya saja, Kementerian Kehutanan sangat pas kalau dipindah ke Kalimantan Tengah untuk mengurusi hutan. Kementerian Kelautan dipindah ke Sulawesi Selatan, karena Makassar terkenal dengan perahu Bugisnya. Kementerian Pendidikan dipindah ke Daerah Istimewa Yogyakarta, Kementerian Pariwisata perlu dipindah ke Bali. Kementerian Pertahanan perlu dipindah ke tengah agar mudah menjangkau seluruh Indonesia dengan cepat, misalnya Kalimantan Timur atau Kalimantan Selatan. Kementerian Perdagangan dipindah di daerah yang dekat dengan negara tetangga. Kementerian Perindustrian mungkin masih cocok di Jawa Barat mendekati Jawa Tengah, meskipun bisa juga di Kalimantan yang lahannya relatif luas.
Ada banyak keunggulan dengan metode bertahap ini. Pertama, rencana pemindahan bertahap lebih menghemat biaya dan lebih mudah ditangani. Mungkin setiap tahun cukup lima-enam kementerian yang dipindah. Biayanya berasal dari aset atau tanah dan gedung yang sekarang ditempati di Jakarta, dapat dijual ke swasta. Suatu kementerian, dari menteri sampai satpamnya, dipindah dengan cara bedol desa ke daerah barunya.
Kedua, kedutaan besar dan organisasi internasional, termasuk pusat bisnis, tidak perlu dipindah dari Jakarta. Kedutaan besar pasti tidak hanya membangun kantor dan tempat tinggal, tetapi juga membangun infrastruktur komunikasi dan mata-mata. Ketiga, masing-masing daerah atau provinsi yang ditempati kementerian yang baru, secara otomatis akan meningkat perekonomiannya. Namun rencana tata ruang dan tata ekonomi di daerah baru harus disiapkan dengan matang.
Menjadi Virtual
Keempat, karena berbagai urusan sudah disebar ke seluruh Indonesia, kepadatan lalu lintas dapat dikurangi dan merata ke seluruh Indonesia. Belum lagi industri angkutan umum, baik penerbangan, pelayaran, maupun darat, akan berkembang secara merata. Kelima, Pemerintah harusnya sudah mulai mengubah proses bisnisnya menjadi virtual. Semua dokumen tidak perlu difotokopi, tetapi diunggah melalui system elektronik. KTP tidak perlu difotokopi, kartu BPJS, kartu pegawai, dan berbagai kartu atau surat-surat penting lainnya, termasuk ijazah dan sertifikat, sudah dapat dibuat maya. Demikian juga ketika Presiden harus rapat dengan menteri-menterinya, dapat dengan mudah dilakukan dengan telpon-video.