Sebelum memblokir Telegram, pemerintah mengklaim ada sekitar 17.000 konten berbau radikalisme di dalamya, termasuk riwayat percakapan teroris yang dibuat nyaman dengan sistem keamanan Telegram. Enskripsi Telegram memang berbeda dengan platform sejenis. Terdapat fitur secret chat menggunakan enskripsi end to end yang tidak diketahui bekasnya di server Telegram. Telegram juga membuat pesan yang dikirim bisa self destructing dan tidak bisa diteruskan ke pengguna lain.
Setelah Pemblokiran
Dampak pemblokiran Telegram beragam. Penjual online mengeluh karena khawatir omzetnya turun. Pegawai perusahaan juga berang karena notifikasi perkembangan bidang yang dikelola kantornya sudah tidak bisa diikuti. Ada pula yang menganggapnya enteng karena berbagai aplikasi serupa masih bebas digunakan.
Ada dua sisi melihat pemblokiran ini. Di satu sisi, pemerintah seakan buntu untuk menekan laju informasi yang beredar. Risikonya, muncul reaksi kontra ‘pengguna baik-baik’ yang selama ini menggunakan platform untuk hal-hal bermanfaat. Daripada memblokir, mengapa pemerintah tidak menindak pengunggah dan penyebar konten negatifnya saja? Di sisi lain, ketegasan terhadap platform juga diperlukan jika memang nyata-nyata membahayakan negara.
Pemerintah sebaiknya segera mengambil langkah lanjutan pascapemblokiran, mengingat ratusan juta pengguna internet Indonesia kini sedang memiliki hasrat yang tinggi untuk berkomunikasi dan mengakses informasi. Ada beberapa solusi yang bisa dilakukan pemerintah. Pertama, menjamin kehadiran sebuah platform sesuai dengan regulasi dan azaz atau prinsip yang berlaku di Indonesia. Kedua, melakukan verifikasi atas pengunggah maupun konten yang disebarkan. Ketiga, penindakan tegas bagi pengguna platform yang tidak sesuai dengan regulasi. Terakhir, bekerja sama dengan berbagai pihak untuk memproduksi konten positif lebih banyak agar masyarakat teralihkan ketika akan mengonsumsi konten negatif.
Harus diakui bahwa hadirnya platform jejaring sosial bermanfaat bagi masyarakat sebagai media untuk berbagi informasi. Bahkan secara agregat, fasilitas yang disediakan platform jejaring sosial bisa memacu perekonomian. Namun tak jarang pula, platform jejaring sosial digunakan sebagai ruang nyaman bagi tindakan yang tidak sesuai aturan, bahkan terlampau membahayakan. Apakah debat panjang antara pelaku bisnis platform digital dengan regulator akan berakhir manis? Kita tunggu saja.
(Arif L Hakim. Blogger, salah satu jaringan Masyarakat Digital Jogja. Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Selasa 18 Juli 2017)