LAMAN media sosial dihebohkan dengan pesan seorang nenek sepuh. Suparni atau Mbah Parni, perempuan asal Kulonprogo mengajarkan sebuah ujaran yang dalam. Dalam video berdurasi 5 menit 7 detik itu, Mbah Parni berujar : "Wong urip neng alam donya niki janji mboten pekok, pikiran digawe encer, senajan ra duwe ya bisa nyandhang, bisa madhang, bisa netepi kelumrahan. Ning nek wong pekok kancane setan. Nek mboten pekok setan ra doyan,"
‘Pekok’merupakan potret kemalasan. ‘Pekok’ bukan karena bawaan atau fitrah Tuhan. ‘Pekok’ adalah proses keengganan untuk tidak menyebut ketidakmauan untuk belajar.
Pesan aja pekok ala Mbah Parni yang mengaku berumur 117 tahun ini seakan menampar kesadaran masyarakat Indonesia. Beberapa bulan lalu, publik Indonesia dihebohkan dengan serangkaian gebrakan yang dilontarkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy. Prof Muhadjir menawarkan program penguatan pendidikan karakter dengan memampatkan sekolah selama 40 jam seminggu atau lima hari sekolah. Namun, publik sudah heboh dengan lontaran itu. Bahkan, ada ormas dengan lantang menolak program ini karena akan mematikan sekolah berciri khas agama.
Kehebohan dan kebisingan dibalut dengan enggan tabayun dan belajar ini semakin memperkeruh suasana batin kebangsaan. Kebijakan belum dilaksanakan sudah ditolak, tanpa alasan yang memadai.
Perkembangan Zaman
Penolakan tanpa alasan inilah yang meminjam ujaran Mbah Parni sebagai ke-pekok-an kita. ‘Pekok’ kata Mbah Parni temannya setan. Setan selalu menghasut seseorang agar tersesat (terbelakang dan enggan melihat kebenaran). Saat ke-pekok-an menyelimuti kita, maka semua kebijakan yang ‘berbeda’dari warna bendera ditolak. Kita seakan hidup dalam dimensi yang terkotak-kotak. Kita sulit melepaskan ego sektoral. Ego sektoral terus melilit hati dan pikiran sehingga kegaduhan menjadi solusi bagi setiap kejadian.
Persoalan sekolah lima hari yang dicanangkan oleh Kemendikbud, sebagaimana dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2017 tentang Hari Sekolah, hal, Menimbang, huruf (a) menyebutkan bahwa untuk mempersiapkan peserta didik dalam menghadapi tantangan perkembangan era globalisasi, perlu penguatan karakter bagi peserta didik melalui restorasi pendidikan karakter di sekolah.
Pernyataan tersebut di atas jelas menunjukkan bahwa program ini adalah sebagai respons terhadap perkembangan zaman. Sekolah pun perlu mengantisipasi dengan anggitan pendidikan karakter. Pendidikan karakter menjadi salah satu solusi dalam upaya meneguhkan identitas kebangsaan Indonesia. Pendidikan karakter dengan memasukkan nilai keindonesiaan ini memungkinkan bangsa Indonesia mampu bersaing secara sehat dalam jagat yang kian menyatu.