Ajakan Walikota Yogyakarta

Photo Author
- Selasa, 11 Juli 2017 | 07:58 WIB

AJAKAN Walikota Yogyakarta, Haryadi Suyuti untuk bersama menjaga dan merawat Yogyakarta seperti dituliskannya di kolom Opini KR (6/7) layak diapresiasi. Lewat tulisannya, orang nomor satu di Kota Yogyakarta ini mengajak semua pihak merawat Yogyakarta : ”mari kita rawat Yogya agar tetap ngangeni, aman, bersih, tertib dan teratur. Mari kita macak, me-matut-matut-kan diri kita dan lingkungan kita, agar menjadi lebih indah dan nyaman. Jangan sampai ada perilaku yang bisa merusak citra Kota Yogya yang ramah, santun dan bersahaja”.

Terkait ajakan walikota, sebagian warga Yogyakarta menilai ajakan tersebut terkesan normatif. Di benak warga, ajakan tersebut sejatinya menjadi sangat baik dan indah. Tetapi dengan catatan, jika kota Yogyakarta tidak salah kedaden dalam tata kelola kota dan tingginya apatisme warga terhadap kotanya.

Masalahnya, bagaimana mungkin unsur ngangeni dapat dipersepsi positif oleh khalayak? Realitas sosial mencatat, atas nama pariwisata modern, banyak kampung unik dan ngangeni perlahan sirna. Wajah kampung bersalin rupa menjadi sekumpulan bangunan komersial bertingkat tinggi. Lengkap dengan kolam renang dan taman surga yang luas.

Pergeseran

Dampaknya, akar budaya berikut artefak kearifan lokal dari kampung tersebut harus mengikuti gaya hidup tuannya yang baru. Konsep patembayatan yang ada di kampung tersebut berganti baju menjadi kotak-kotak komodifikasi ruang dan waktu dalam konteks jasa berbayar.

Atas pergeseran itu, permasalahan sosial, budaya, dan lingkungan menyergap kampung yang dibeli para tuan tanah pemilik kapital besar. Di antaranya, menipisnya persediaan air tanah. Warga di sekitar kampung yang sudah dikapitalisasi kelabakan. Air sumur sebagai energi kehidupan di pekiwan rumahnya mengering. Lalu, limbah buangan air kotor. Sampah organik atau pun non organik. Parkir kendaraan bermotor roda empat dan bis wisata berbadan panjang yang memenuhi badan jalan serta trotoar.

Masalah berikutnya, Yogyakarta dilanda kemacetan lalu lintas akibat pertambahan kepemilikan kendaraan bermotor roda dua dan empat. Pertambahan tersebut tidak sebanding ruas jalan raya yang tersedia. Penyebab lainnya, masyarakat bangga membelanjakan uangnya untuk membeli penanda modernitas berwujud kendaraan.

Dalam perspektif budaya visual, ternyata aspek nyaman, tertib dan indah seperti diharapkan walikota, jauh panggang dari api. Hal itu diperparah sikap pengendara kendaraan bermotor roda dua maupun empat menjadi pribadi beringas. Mereka membudayakan diri sebagai raja jalanan dengan perilaku tidak sopan sekaligus tidak tertib saat berkendara. Mereka selalu berteriak dengan cara menekan tombol klakson manakala lampu lalu lintas masih menyala merah.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: ivan

Tags

Rekomendasi

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB
X