Aspek tertib dan teratur ternyata sulit ditemukan di sepanjang trotoar. Keberadaan trotoar sudah bersalin fungsi menjadi lapak dagangan pedagang kaki lima lengkap dengan instalasi visual sampah menggunung. Trotoar diselewengkan menjadi tempat parkir dan dikooptasi hotel untuk perluasan lobi serta kafe.
Pemasangan Iklan
Hal sebangun terjadi juga pada pemasangan iklan luar ruang. Meski Yogyakarta sudah memiliki Perda No 2/2015 tentang Penyelenggaraan Reklame, tetapi keberadaan sampah visual iklan politik dan iklan komersial masih bertengger dengan pongahnya di ruang publik. Teror sampah visual menjadi bukti nyata tidak digubrisnya ajakan walikota untuk menjadikan Yogyakarta sebagai kota ngangeni, bersih, teratur dan indah.
Atas berbagai permasalahan yang terpapar di atas, sudah saatnya ajakan Walikota Yogyakarta tidak berhenti sebagai sebuah ajakan. Harus terwujud gerak nyata untuk mencari jalan ke luar terhadap masalah keamanan, kebersihan, keindahan dan ketertiban yang belum tuntas perwujudannya.
Yang wajib diwujudkan: pemerintah, anggota dewan dan masyarakat harus legawa bersatu-padu menghapus permasalahan tersebut. Ini penting! Sebab salah satu indikator ramah tidaknya sebuah kota bagi warga dan wisatawan, dapat disaksikan sejauhmana keamanan dan kenyamanan sosial terwujud nyata di ruang publik.
(Dr Sumbo Tinarbuko. Pemerhati Budaya Visual dan Dosen Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta. Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Selasa 11 Juli 2017)