PENETAPAN kembali Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, sempat ‘memanas’ terkait istilah ‘Buwono’. Namun pihak kraton dan DPRD telah memberikan keterangan bahwa mengenai istilah itu sama sekali tidak akan menghambat penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY periode 2017–2022 mendatang. Tetapi bagaimana keberadaan DIY dalam konteks NKRI yang menganut sistem demokrasi?
Pasal 1 ayat (1) UUD Tahun 1945 dengan tegas telah menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik. Setidaknya dua kandungan yang dapat ditarik dari pasal di atas. Pertama, negara Indonesia adalah negara yang menjalankan prinsip negara Kesatuan dimana terdapat satu pemerintahan tertinggi yang membawahi pemerintahan lain yang ada di bawahnya. Oleh karena itu, pemerintahan tingkat bawah harus menjalankan ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintahan tingkat atas (pusat). Kedua, Indonesia adalah negara yang berbentuk republik, yaitu pemerintahan yang di kepalai oleh presiden, bukan raja maupun kaisar. Selanjutnya Pasal 18 UUD juga mengamanatkan bahwa, Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Oleh karena itu, sejalan dengan asas kedaulatan rakyat, maka pemilihan pimpinan masing-masing daerah juga harus ditentukan secara demokratis.
Pertanyaan yang selalu saja diajukan terkait dengan dua pasal dalam UUD di atas adalah apakah keberadaan DIYÂ yang gubernurnya diangkat dengan penetapan yang juga sekaligus merupakan Raja dari Keraton Yogyakarta bertentangan dengan konsitusi?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, kita tidak bisa hanya bersandar pada alasan historis, bahwa keberadaan Kraton Yogyakarta telah lebih dulu ada jauh sebelum Republik Indonesia lahir atau DIY pernah menjadi ibu kota Republik Indonesia. Ini tidak dapat kita nafikan dan harus kita akui kebenarannya sebagai peristiwa sejarah. Namun jika hanya itu alasannya, tentu akan sangat subjektif, karena daerah lain juga berjuang dengan tidak kalah hebatnya untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.
Karena itu, landasan yuridis atau hukum perlu dikemukakan karena hukum adalah bingkai sekaligus dasar dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Saat hukum telah ditentukan dan ditetapkan maka setiap warga negara tanpa terkecuali harus mematuhinya, setiap perbedaan harus tunduk padanya.
Keberadan DIY yang dipimpin gubernur yang ditetapkan dari raja kraton, tidaklah dapat dikatakan melanggar konstitusi. Karena konstitusi tidak dapat dibaca secara parsial, namun merupakan satu kesatuan yang utuh. Secara normatif, dalam Pasal 18B ayat (1) dan (2) dijelaskan : “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undangâ€. Jadi konstitusi sendiri dalam pasal selanjutnya telah menyatakan bahwa negara meskipun adalah negara kesatuan yang berbentuk republik, mengakui adanya kekhususan dan keistimewaan dari tiap-tiap daerah yang tentu saja harus ditetapkan dengan undang-undang. Oleh karena itu, dalam konteks ini, keistimewaan DIY dengan sistem kerajaannya adalah sesuai dengan amanat konstitusi.
Sedangkan klausa ‘demokratis’ dalam pemilihan gubernur tidak dapat dimaknai bahwa pemilihan hanya dilakukan secara lansung oleh rakyat saja. Frasa demokrastis memiliki makna bahwa suatu keputusan diambil atas nama rakyat dan disetujui oleh rakyat, maka titik tekannya adalah pada persetujuan rakyat. Oleh karena itu, pemilihan lansung atau melalui badan perwakilan atau melalui penetapan, tetap dapat dikatakan demokratis asalkan sesuai dengan kehendak rakyat.
Sejauh ini, kehendak rakyat Yogyakarta adalah ingin tetap mempertahankan keistimewaan Yogyakarta dengan penetapan rajanya menjadi Gubernur. Dengan demikian, tidak ada lagi yang perlu kita permasalahkan.