SAAT ini kita sedang menyaksikan dan merasakan penerapan temuan atau teknologi baru yang bersifat seperti pisau bermata dua. Di satu sisi, teknologi tersebut membawa kemudahan dan keuntungan. Di sisi lain, teknologi atau inovasi tersebut mendatangkan kerugian. Lihat saja misalnya taksi dan ojek berbasis aplikasi, yang berkembang pesat di berbagai negara karena mampu memenuhi kebutuhan para pihak terkait, mulai dari penyedia jasa, pemberi jasa, dan pengguna jasanya. Tetapi di sisi lain, industri yang sudah ada dan berjalan lama, tiba-tiba tidak mampu bersaing.
Tidak hanya di bidang angkutan, di bidang lainpun juga terjadi hal yang sama. Industri hotel mulai tersaingi oleh industri aplikasi AirBnB, yaitu penyewaan kamar di rumah-rumah pribadi yang murah dan cukup lah untuk tidur. Orang tidak perlu berinvestasi besarbesaran untuk memperoleh penghasilan tambahan. Cukup masuk ke jejaring aplikasi saja dan pengguna jasa akan mencari sendiri. Transaksi pemesanan dan pembayaran diselesaikan melalui aplikasi. Pemilik rumah tinggal menyerahkan kunci kamar saja.
Di bidang perdagangan, seorang pedagang tidak harus menyiapkan bangunan toko dan mengangkat pramuniaga yang cantik-cantik, lalu mengisi tokonya dengan banyak barang yang memerlukan dana sangat besar. Dia cukup memakai aplikasi untuk menawarkan produk melalui Internet di ponselnya. Kalau ada pesanan masuk, tinggal mengirim barangnya melalui perusahaan ekspedisi. Pembeli tidak perlu berkali-kali menanyakan barangnya sampai di mana, karena sudah ada aplikasi untuk itu. Pusat-pusat perdagangan sudah mulai mengeluhkan berkurangnya pengunjung. Bahkan pameran komputer yang biasa diselenggarakan di JEC pun mungkin hanya tinggal kenangan, karena dari waktu ke waktu, jumlah pengunjungnya maupun transaksinya menurun.
Di bidang jual-beli kredit, pembeli tidak selamanya harus menggantungkan kepada bank atau kartu kredit. Sekarang ada aplikasi berbasis sosial yang menyediakan penjualan secara kredit, misalnya Akulaku yang ada di ponsel. Pelanggan cukup mengisi data pribadi, lalu akan diwawancara melalui telepon. Kalau disetujui, maka dia tinggal mengangsur pembeliannya selama 3,6 atau 9 bulan.
Bidang kesehatan tidak ketinggalan, sekarang banyak aplikasi kedokteran, misalnya Halodoc, Dokterku, dan Dokter Kita, yang memungkinkan pengguna atau pasien berkonsultasi secara langsung dengan dokter secara gratis. Setiap saat ada dokter yang siaga menjawab pertanyaan dan keluhan pasien digital. Memang dokter belum sampai pada tahap memberi resep, tetapi untuk penyakit yang ringan-ringan, tentu ini sangat membantu.
Dalam bidang angkutan, di berbagai daerah muncul aksi penolakan terhadap taksi atau ojek berbasis aplikasi, karena mengganggu bisnis taksi dan ojek konvensional. Hal ini wajar, karena inovasi baru telah dirasakan dampaknya oleh bisnis yang lama. Di satu sisi, taksi konvensional sulit dicari, belum tentu mau melayani sampai ke daerah-daerah terpencil, biayanya dan rutenya tidak diketahui sebelumnya. Sedang taksi daring menghapus itu semua. Pengguna tinggal sentuh layar ponselnya, dalam sekejap akan datang mobil yang dipesannya.
Dari sisi pengemudi, taksi daring tidak mengejar setoran. Masing-masing pengemudi dipersilakan sendiri mengejar targetnya. Perusahaan penyedia jasa hanya mengatur di aplikasinya saja. Sedang pengemudi sebagai pemberi jasa, mengatur sendiri waktu kerjanya. Karena tidak ada investasi besarbesaran, kecuali pengemudi yang harus menyediakan sendiri mobilnya, maka tidak ada tuntutan harus ada setoran. Harga layanan pun bisa jauh lebih murah dibanding taksi konvensional. Hal ini juga berlaku untuk ojek, yang bahkan sekarang juga menyediakan berbagai layanan seperti mengirim barang, membelikan makanan, dan sebagainya.
Istilah disruptive technology pertama kali dikenalkan oleh Clayton M Christensen, seorang profesor di Harvard Business School, pada tahun 1997 melalui bukunya yang berjudul ‘The InnovatorÃs Dilemma (Management of Innovation and Change)’. Melalui bukunya itu, Christensen menggolongkan teknologi ke dalam dua kelompok, yaitu sustaining dan disruptive. Sustaining technologies adalah teknologi yang selalu diperbaiki dan terus digunakan. Sedangkan disruptive technology adalah teknologi yang kehadirannya justru mengganggu teknologi atau tatanan masyarakat yang sudah ada, seperti pada kasus taksi daring, toko daring, dokter daring, dan penginapan daring.