Mengikis Budaya Konsumtif dengan Puasa

Photo Author
- Jumat, 2 Juni 2017 | 11:17 WIB

UMAT Islam kembali menjalankan sebuah ritual tahunan, puasa Ramadan. Sebuah ibadah sarat nilai dan makna. Selain menjalin hubungan vertikal, dan hubungan horizontal, pun diharapkan mampu menjalin hubungan harmonis dalam membina diri sendiri. Hal ini disebabkan karena puasa memang ibadah yang sangat bersifat individu dan pribadi.

Secara harfiah, puasa diambil dari kata shama-yashumu yang dimaknai dengan ‘menahan’. Dengan demikian, puasa erat kaitannya dengan menahan segala hasrat yang bisa mengurangi keabsahan puasa itu sendiri, apalagi segala yang membatalkannya. Menahan diri dari segala yang dilarang agama, adalah sebuah kewajiban mutlak yang tidak bisa ditawar. Namun, akan menjadi rumit jika dikaitkan dengan menahan diri dari sesuatu yang dibolehkan, namun terlarang di saat puasa. Pun terlebih-lebih akan sangat sulit menahan diri dari sesuatu yang sama sekali tidak ada larangannya dalam nash Alquran dan hadis secara langsung. Sebagai contoh budaya konsumtif.

Bahan Pokok

Tidak dapat dipungkiri, jika saat menjelang Ramadan, dan Lebaran fenomena tahunan yang selalu terulang adalah melonjaknya harga bahan pokok. Hal ini disebabkan semakin tingginya permintaan pasar. Sementara itu, puasa Ramadan yang hakikatnya bisa mengurangi kebutuhan hidup, yang terjadi malah sebaliknya, yaitu kebutuhan semakin bertambah dan melonjak. Konsumsi rumah tangga jauh lebih mewah dan boros dibandingkan dengan kebutuhan sehari-hari di luar puasa.

Hakikat puasa, tidak sekadar membangun hubungan vertikal dan horizontal yang harmonis, seperti menggenjot ibadah-ibadah atau ritus seperti tarwih, tadarus, i’tikaf, zakat, infaq, sedekah dan lainnya. Namun, harus menyadari pula bahwa puasa harus mampu membangun pribadi yang kuat, harmonis dan tertata. Segala bentuk kerakusan hidup, seperti budaya konsumtif harus bisa dikikis, hingga kemudian dihentikan.

Secara vertikal, puasa memang harus mampu memanifestasikan pribadi yang taat, tunduk pada Allah Yang Maha Pencipta, karena harus mampu melawan fitrah dan nurani manusiawinya seperti tidak makan-minum, tidak menyalurkan hasrat seksual bagi yang suami istri dalam masa dan waktu tertentu. Sedangkan secara horizontal, orang yang berpuasa harus mampu merasakan apa yang dirasakan oleh orang yang mengalami kesulitan hidup. Dan yang tidak boleh luput adalah, bahwa penataan hidup individu harus dilakukan dengan cara mengikis dan menghilangkan kerakusan hidup seperti budaya konsumtif.

Kerakusan hidup atau budaya konsumtif yang harus dilawan dalam kaitannya dengan puasa, sebenarnya sangat ril dan nyata. Masyarakat lokal kita, rakyat Indonesia mayoritas makan sebanyak tiga kali sehari ditambah dengan konsumsi lainnya, harus dikurangi menjadi dua kali dalam sehari. Sehingga, jika budaya kosumtif semacam ini benar-benar dihentikan, seyogiyanya bisa menjadi proses penghematan secara ekonomis.

Idealita

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: ivan

Tags

Rekomendasi

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB
X