Pendidikan Kebhinnekaan

Photo Author
- Kamis, 1 Juni 2017 | 00:58 WIB

BOM Kampung Melayu setelah hiruk pikuk Pemilihan Kepala Daerah di DKI Jakarta, mengindikasikan rapuhnya kesadaran kebhinnekaan kita sebagai sebuah negara-bangsa. Terdapat dua situasi sosial yang berpotensi menjadi patogen yang mengakibatkan terjadinya disintegrasi sosial, bahkan nasional.

Pertama, rendahnya tingkat literasi atau melek huruf. Data terbaru Badan Pusat Statistik pada 2016 lalu menunjukkan masih tingginya angka buta huruf, dimana 17,09% penduduk masih illiterate. Pemberantasan buta huruf di Indonesia dalam dekade terakhir berlangsung lambat, Persentase buta huruf tersebut hanya berkurang sangat tipis daripada tahun sebelumnya di angka 17.77%.

Akselerasi pemberantasan buta huruf di masa pasca reformasi sangat jauh jika dibandingkan dengan prestasi yang ditorehkan pemerintahan pertama RI di bawah Presiden Soekarno. Sebagaimana banyak dicatat, gerakan melek huruf di masa Soekarno (1948-1964) adalah salah satu revolusi literasi yang paling berhasil di dunia. Di samping Uni Soviet (1920-an), Kuba (1960-an), Nikaragua (1980-an), Venezuela (mulai 2003, pada era Chavez), dan Bolivia (mulai 2006). Pada 31 Desember 1964, di luar Irian Barat, seluruh penduduk Indonesia usia 13-45 tahun dinyatakan bebas buta huruf.

Situasi illeterasi sangat potensial menjadi pemicu bagi ledakan konflik komunal, chaos sosial, dan disintegrasi nasional. Rendahnya budaya baca (juga tulis) akan memicu rendahnya kemampuan analitis dan kritis, yang pada ujungnya akan membangun masyarakat yang permisif terhadap hoaks, berita palsu, fitnah dan adu domba.

Kedua, semakin lemahnya budaya dialog. Musyawarah merupakan bagian tak terpisahkan dari masyarakat tradisional Indonesia. Musyawarah memberikan kesempatan seluruh elemen sosial untuk mendialogkan berbagai gagasan, aspirasi, dukungan, tentangan, serta pro-kontra mengenai isu kemasyarakatan dalam sebuah arena sosial yang egaliter atau setara. Saking melembaganya musyawarah di tengah-tengah masyarakat kita, para pendiri negara melabeli demokrasi kita sebagai demokrasi permusyawaratan (juga perwakilan), sebagaimana ditegaskan dalam sila keempat Pancasila.

Namun, hari-hari ini ruang-ruang untuk bermusyawarah lebih banyak digantikan oleh mekanisme pemungutan suara di banyak tempat. Tidak hanya di tingkat pemilihan umum, pemilihan presiden, atau pemilihan kepala daerah, namun juga dalam forum-forum pengambilan keputusan di tingkat RT. Akibatnya dialog-dialog egaliter, pertukaran wacana, dan ekspresi sekaligus akomodasi gagasan yang beraneka ragam melalui kompromi menjadi sangat jarang. Akibatnya masyarakat secara mudah terbelah dalam dua pilihan hitam putih, menerima dan menolak, mendukung dan menentang.

Situasi demikian memberikan basis bagi mudah munculnya disintegrasi sosial dan konflik komunal. Ketidakmauan untuk mengakui atau misrekognisi atas eksistensi pihak lain yang berbeda, tiadanya kehendak untuk berbagi ruang hidup bersama secara damai dalam keberagaman, penggunaan kekerasan seperti bom untuk mengekspresikan aspirasi dan gagasan atau menghabisi pihak yang berbeda dengan prinsip tiji tibeh (mati siji mati kabeh) merupakan akibat ekoran ekstrem dari rendahnya budaya dialog dan musyawarah.

Dalam konteks demikian, dunia pendidikan harus memberikan andil yang lebih optimal untuk membangun kesadaran masyarakat mengenai kebhinnekaan sebagai realitas alamiah sekaligus sebagai konsensus nasional dalam semboyan 'Bhinneka Tunggal Ika'. Pendidikan kebhinnekaan harus dikembangkan secara lebih sistemik dalam praktikpraktik pendidikan di ruang-ruang kelas. Dengan berbasis pada dua pilar kunci, yaitu gerakan literasi dan dialog lintas kultural.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: ivan

Tags

Rekomendasi

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB
X