KEBERADAAN media sosial tak terbantahkan telah menjadi salah satu saluran partisipatoris publik. Dengan karakter partisipatoris, murah, cepat dan nonhierarki, media sosial menjelma menjadi ruang publik baru untuk saling berinteraksi tanpa batas hingga kemudian dapat mengikis sikap apati politik publik. Semangat partisipatoris tersebut bisa dilacak dari dinamika para netizen dalam mempengaruhi pemberitaan yang tengah hits di media sosial hingga kemudian bergulir menjadi opini publik.
Ironisnya, sisi positif media sosial kerap dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk menyebarkan ujaran kebencian, hasutan dan propaganda dengan sasaran kelas menengah terdidik terutama kaum muda. Hal itu dapat dilacak dari banyaknya retweet dan share seputar informasi yang bermaterikan paham-paham intoleransi dan radikalisme. Tentu saja paham ini yang jauh dari semangat Pancasila. Termasuk meningkatnya peredaran konten yang mengkampanyekan ideologi alternatif dan berseberangan dengan Pancasila.
Jika ditelaah konten-konten yang berisi paham-paham intoleransi dan radikalisme banyak disebar tiga aktor utama dalam media sosial yakni buzzer, influencer dan follower. Dalam praktiknya mereka seringkali berganti posisi tergantung dari isu yang sedang mereka gulirkan. Hal itu ditujukan agar konten yang disebar dapat tersebar luas dan kemudian menjadi opini publik. Bahkan, banyak dari mereka yang kemudian menyamar dengan menggunakan beragam akun asli dan anonim untuk saling bahu membahu menyebarkan paham-paham intoleransi dan radikalisme.
Informasi Tandingan
Identifikasi tersebut menegaskan bahwa dinamika media sosial kian hari kian banal oleh paham-paham intoleransi, radikalisme dan antikebangsaan. Bila dibiarkan maka konten-konten tersebut dikhawatirkan cenderung akan memecah belah rakyat Indonesia. Karena itu, untuk memerangi persebaran konten intoleransi dan radikal yang muncul dalam ranah politik digital, pemerintah tentulah tidak cukup dengan hanya memblokir situs atau menindak para penyebarnya berdasarkan UU ITE semata.
Akan tetapi diperlukan taktik yang komprehensif, salah satunya dengan memperkuat persebaran materi konten yang berbau Pancasila di media sosial. Persebaran konten ini bisa dilakukan akun-akun resmi pemerintah dan simpul masyarakat sipil yang peduli dengan nilainilai kebangsaan dan Pancasila. Langkah ini setidaknya dapat mendorong para netizen untuk bersama-sama menyebarkan dan menawarkan informasi tandingan berupa konten-konten yang bermaterikan nilai-nilai kebangsaan, keberagaman dan tentunya Pancasila. Dikatakan demikian karena, menjamurmya konten ekstrem dan radikal harus segera di imbangi pula dengan membanjirnya informasi alternatif atau tandingan berwatak Pancasila.
Dengan demikian melalui konten tandingan yang berisi muatan ideologis kebangsaan diharapkan menjadi pembanding berbagai informasi yang berbau intoleransi dan radikalisme. Konten-konten kreatif kebangsaan itu bisa berupa meme, komentar, tulisan hingga beragam pemberitaan perihal bagaimana mempertegas nilai-nilai kebangsaan dan Pancasila. Sebab yang dibutuhkan saat ini bukan sebatas literasi antihoaks, akan tetapi yang lebih penting adalah bagaimana para netizen juga mendapatkan konten kreatif seputar kebangsaan dengan baik. Dengan kata lain konten-konten itu bisa saja di modifikasi secara kreatif dengan memberikan panduan dan edukasi praktis bagi para pegiat media sosial untuk dapat berfikir kritis serta cerdas dalam mengkampanyekan semangat Pancasila.
Epilog