Kini, ritual nyadran lebih banyak dilakukan oleh masyarakat berusia tua. Sementara, para pemuda lebih banyak menggunakan waktu untuk memburu gemerlap dunia daripada duduk di samping pekuburan orangtua dalam rangka birrul walidain. Lebih-lebih bagi mereka yang hidup di perantauan, banyak di antara mereka tidak ingat bahwa sebelum Ramadan datang ada bulan Syaban yang di dalamnya ada tradisi nyadran. Mereka lebih mengingat bahwa tak lama lagi akan ada perayaan Hari Raya Idul Fitri sehingga mengumpulkan uang sebanyakbanyaknya untuk berfoya-foya di hari raya.
Realita betapa budaya nyadran semakin asing bagi generasi muda muslim Nusantara adalah hal yang perlu diperhatikan secara serius. Karena, praktik birrul walidain akan semakin jauh dilakukan anak-anak manakala tradisi yang telah diwariskan para pendahulu saja tidak pernah diingat. Padahal, inilah tradisi yang perlu diingat dan dilakukan. Sepanjang tidak bertumpu pada hal yang menjurus kepada perilaku syirik.
(Anton Prasetyo S Sos I. Pemerhati Sosial dan Agama, Studi Magister KPI UIN Yogyakarta. Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Selasa 16 Mei 2017)