Dalam konteks ini, ternyata Kabupaten Sleman sebagai daerah penyangga Kota Yogyakarta, memiliki seabrek permasalahan lingkungan dan pembangunan wilayah. Yakni: (1) tingginya alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian; (2) tidak terkendalinya pembangunan perumahan permukiman, apartemen, hotel dan pusat perbelanjaan, yang banyak mendapatkan penolakan dari warga. (3) Regulasi pengendalian pertanahan dan pemanfaatan ruang yang belum memadai. Kemudian (4) belum adanya upaya penindakan dan penertiban terhadap pelanggaran pemanfaatan ruang. (5) Intensitas banjir akibat limpasan air hujan yang semakin meningkat dan (6) semakin berkurangnya zona resapan air yang berdampak pada semakin turunnya muka air tanah di wilayah Sleman dan Kota Yogyakarta.
Berkenaan dengan berbagai permasalahan tersebut, untuk menuju Sleman smart regency perlu diprioritaskan agenda untuk menyelesaikan berbagai pekerjaan rumah di bidang lingkungan. Yakni: (1) mengedepankan semangat Keistimewaan DIY dengan spirit hamemayu hayuning bawana, yakni pembangunan wilayah Sleman perlu diorientasikan untuk melindungi, memelihara, serta menjaga keberlanjutan lingkungan alam. (2) Melakukan pengendalian alih fungsi lahan pertanian secara ketat, mempertahankan zona-zona resapan air dan menata kawasan sempadan sungai sebagai kawasan konservasi berbasis sistem informasi yang terbuka. Dan (3) mempercepat terbitnya regulasi tentang pengendalian pemanfaatan ruang serta mempertahankan atau menguatkan Peraturan Bupati 6/2016 tentang Penghentian Sementara Usaha Hotel, Apartemen dan Kondotel, sampai dengan 31 Desember 2021.
Apabila hal di atas dapat diwujudkan, maka Sleman Smart Regency akan dapat direalisasikan menyusul predikat Smart City yang disandang Kota Yogyakarta pada tahun 2015.
(Dr Sutaryono. Pengajar pada STPN Yogyakarta dan Anggota Dewan Riset Daerah Kabupaten Sleman. Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Senin 15 Mei 2017)