Dengan demikian, revisi program SM-3T PPG adalah keniscayaan demi pemenuhan kebutuhan guru profesional. Bentuk revisi regulasi yang nantinya dicanangkan seyogianya tidak boleh lagi menihilkan sosialisasi. Sebagaimana yang telah lalu, kurangnya sosialisasi program SM- 3T sempat berdampak pada penolakan peserta SM-3T oleh masyarakat setempat. Kehadiran SM- 3T dianggap mempersempit lapangan kerja bagi masyarakat setempat.
Bahkan penerjunan SM-3T juga sempat direspons secara sinis dan apatis. Masyarakat setempat mempersepsikan SM-3T sebagai wujud ketidakpercayaan pemerintah terhadap tenaga pendidik lokal. Ironis, memang, SM-3T yang pada hakikatnya bertujuan untuk merajut tenun kebangsaan -- jika tidak didahului dengan sosialisasi yang masif-- malah berbalik menjadi bumerang.
Muatan PPG hendaknya juga turut dikaji ulang. Selama ini, peserta PPG beranggapan bahwa muatan dalam PPG -- yang berisikan perangkat pembelajaran, penelitian tindakan kelas, materi ajar, dan praktik pengalaman lapangan (PPL)-- telah dipelajari ketika studi S1. Dengan demikian, PPG dianggap hanya pengulangan materi. Praktis ‘hanya’ kehidupan berasrama yang dianggap sebagai suatu hal yang baru. Ketika asas efisiensi dan efektivitas merupakan fundamen muatan PPG selaiknya diperkaya. Agar peserta tidak merasa melakukan kegiatan formalitas demi perburuan lisensi mengajar semata.
(Ardian Nur Rizki. SM-3T AngkatanV penempatan Kabupaten Alor, kini sedang menempuh PPG di UNY. Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Jumat 5 Mei 2017)