PROSES pergantian kepemimpinan UGM telah mencapai babak akhir dengan terpilihnya Prof Ir Panut Mulyono M.Eng sebagai Rektor UGM periode 2017-2022. Tulisan ini bermaksud memberikan masukan kepada rektor terpilih dalam memimpin UGM ke depan. Agar UGM tidak terus menerus mengalami pengkerdilan karena terjebak pada persoalan tata kelola semata.
Jebakan pada tata kelola ini memang tidak hanya dialami oleh UGM, tapi merupakan problem seluruh PTN di Indonesia pascareformasi politik dan PTN berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) yang sekarang berganti baju menjadi Perguruan Tinggi Badan Hukum (PTBH). Jebakan pada tata kelola itu menyebabkan PTN kita, baik yang berbentuk institut maupun univeritas lebih sibuk ke urusan administratif daripada ke luar mengembangkan ilmu pengetahuan dan masyarakat.
Universitas Pembina
Sebagai universitas negeri tertua di Indonesia, UGM selain berperan mengemban Pancasila, juga menjadi universitas pembina di Indonesia. Dalam statuta UGM yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1950, yaitu dalam Pasal 3 disebutkan bahwa cita-cita UGM adalah untuk: (1) Membentuk manusia susila yang cakap dan mempunjai keinsyafan bertanggungjawab tentang kesejahteraan masyarakat Indonesia khususnya dan dunia umumnya untuk berdiri pribadi dalam mengusahakan ilmu pengetahuan dan memangku jabatan Negeri atau pekerjaan masyarakat yang membutuhkan didikan dan pengajaran berilmu pengetahuan; (2) Mengusahakan dan memajukan ilmu pengetahuan; dan (3) menyelenggarakan usaha membangun, memelihara dan mengembangkan hidup karena kemasyarakatan dan kebudayaan. Cita-cita para pendiri UGM amat luhur. Mereka ingin UGM tidak sekadar institusi pendidikan tinggi yang memroduksi sarjana baru. Lebih dari itu, ingin melahirkann orang-orang yang memiliki keinsyafan untuk turut bertanggung jawab terhadap kesejahteraan masyarakat Indonesia khususnya dan dunia umumnya.
Sebutan ‘universitas ndesa’ atau ‘universitas kerakyatan’ merefleksikan hasil akumulasi yang panjang dari komitmen dan keterlibatan UGM dalam membangun masyarakat pedesaan dan kalangan bawah. Baik melalui programprogram KKN yang dilaksanakannya sejak UGM belum berusia sepuluh tahun, maupun melalui membuka pintu lebar bagi orang-orang desa dan tidak mampu untuk dapat kuliah di UGM dengan biaya murah. Kata ‘rakyat’ merupakan terminologi politis yang mencerminkan keberpihakan UGM terhadap kaum jelata.
Namun sejak UGM berubah menjadi badan hukum, cita-cita luhur UGM tersebut makin kabur, karena segenap civitas akademika UGM sibuk terjebak pada masalah tata kelola. Mereka lupa bahwa tata kelola itu hanyalah alat untuk mencapai cita-cita, bukan justru menjadi tujuan utama yang mengaburkan citacita. Jebakan pada tata kelola itu terjadi sebagai konsekuensi logis dari perubahan bentuk kelembagaan, yaitu dari PTN menjadi PTBH. Jika sebelumnya pengelolaan keuangan itu sebatas urusan PTN dengan Pemerintah saja, sekarang menjadi urusan publik.
Jebakan pada tata kelola itu juga terasa sekali pada managemen sumber daya manusia (SDM). Jika sebelumnnya ada pembedaan cara mengukur kinerja antara dosen/peneliti dengan labora, teknisi, pustakawan, karyawan tata usaha dan lainnya. Untuk dosen/peneliti dinilai dari outcome-nya, sedangkan karyawan dilihat dari tingkat kehadirannya, maka sekarang kinerja mereka diukur dengan kriteria yang sama, yaitu tingkat kehadiran. Sistem absensi dengan menggunakan sidik jari (fingerprint) menjadi trend di kampus-kampus PTN kita. Entah disadari atau tidak, keharusan dosen/peneliti melakukan absensi dengan fingerprint secara evolutif akan membonsai mereka dan akhirnya mengkerdilkan peran kampus.
Dosen, selain mengajar dan meneliti semestinya mengasah ketajaman sikap kritisnya dengan menghadiri forum-forum diskusi dan forum ilmiah serta membangun networking. Jika dosen hanya terkungkung di kampus dari pagi sampai sore, bagaimana mungkin dosen memiliki networking yang luas? Networking itu amat diperlukan untuk peningkatan kapasitas dosen itu sendiri, pengembangan kampus, maupun menyiapkan para alumninya memasuki lapangan kehidupan yang lebih luas.