Oleh karena itu, Hadits yang menyatakan bahwa salat sendirian memperoleh 1 darajat dan berjemaah mendapatkan 27 derajat menunjukkan bahwa kepercayaan pada Tuhan diwujudkan dengan kebersamaan. Kepedulian sosial adalah puncak dari iman sejati sehingga diganjar lebih banyak dibandingkan dengan ibadah yang semata-mata dilakukan sebagai pemenuhan kewajiban pada Sang Khalik. Jalan menuju surga ditempuh dengan berbagi dengan sesama.
Jika manusia melakukan amal baik atas dasar iman, Tuhan akan menganugerahkan kehidupan yang bahagia (hayatan tayyibatan). Konsep ini sejalan dengan ide Aristoteles tentang eudaimonia bahwa kebajikan (virtue) itu adalah tujuan bukan alat untuk mendapatkan kebahagiaan. Jadi, kesempurnaan manusia itu bukan terletak pada dirinya semata-mata tetapi kehadirannya bermanfaat bagi orang lain.
Andaikata kebahagiaan itu bersifat individual, tentu Nabi Muhammad akan tetap tinggal di langit dan tidak turun ke bumi dalam peristiwa Israk Mikraj. Peristiwa ini semacam pengalaman Zarathustra yang digambarkan Nietzsche bahwa ia mengorbankan kesenangan dirinya dan kembali pada warganya untuk bersama-sama menjalani kehidupan yang baik dan bermakna. Dengan peringatan ini, tangga ke langit itu kunci.
(Ahmad Sahidah PhD. Dosen Senior Filsafat dan Etika Universitas Utara Malaysia. Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Selasa 25 April 2017)