MENYIMAK dan mengurai cita-cita tokoh pergerakan Indonesia, RA KArtini (1879 -1904), tak akan pernah usang. Buah pikiran tertuang dalam karya tulisan surat kepada para sahabat di Belanda dan tulisan esai lainnya - seperti tertuang dalam buku ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’ - merupakan embrio dan guiding lines gerakan perempuan yang aktual hingga abad ini.
Pokok-pokok pikiran Kartini, pada awalnya sangat lokal, sebatas perempuan Jawa yang sangat harus dididik. ‘..Sebab perempuan seharusnya memimpin hati anak-anak, membentuk watak, mencerdaskan nurani dan otak, ..suatu rahmat bagi Bumiputera bila kaum perempuan Jawa dididik baik-baik...’ (Surat Kartini kepada Nyonya N van Kol, Agustus 1901).
Kartini pasti tidak bermaksud sukuisme. Tahun 1901, tak ada seorang pun yang dapat memastikan masyarakat Bumiputera lepas dari penjajahan. Sehingga dapat dimaklumi jika konstruksi berpikir Kartini, masih sebatas Jawa. Bahkan kontroversi pokok pikiran pun merupakan antitesa dari substansi budaya Jawa yang partiarkhis dan lekat pada konsep priyayisme maupun keningratan.
Hal yang tidak dapat surut untuk dikagumi adalah pokok-pokok pikiran Kartini untuk memajukan perempuan - seabad lewat -- sama persis dengan rencana strategi pemberdayaan perempuan yang tertuang dalam kesepakatan Tujuan Pembangunan Millenium (MDG’s) yakni agenda pembangunan manusia oleh PBB untuk tahun 2000 - 2015. Dilanjutkan Agenda Pembangunan Berkelanjutan atau (SDGs) 2015- 2030 sebagai kesepakatan pembangunan global. Sekurangnya 193 kepala negara hadir, termasuk Wakil Presiden Jusuf Kalla, turut mengesahkan agenda tersebut dan berlaku seluruh bangsa anggota PBB tanpa terkecuali.
***
Cita-cita Kartini untuk memberdayakan perempuan dalam ide sederhana yakni perempuan harus mampu membatik, menjahit dan memasak untuk berdaya bagi diri dan keluarganya - kini menjadi ide besar dan global yang direspons dunia (PBB). Pemberdayaan perempuan dan kampanye kesetaraan gender menjadi focus point dalam desain kesepakatan internasional untuk mempercepat tercapainya SDGs. Bahkan sejak tahun 2000, UNDP bersama masyarakat global membuat kesetaraan dan keadilan gender yang ditargetkan sebagai pijakan mengakhiri semua bentuk diskriminasi terhadap perempuan dan anak perempuan. Persis yang digemakan Kartini dalam format emansipasi, yang diyakini akan berefek pada semua lini kehidupan - setidaknya lini keluarga dan sekitarnya.
Dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Indian Ocean Rim Association (IORA) ke-20, Maret 2017 di Jakarta lalu, Menlu RI Retno Marsudi, juga menyambung lidah Kartini dengan memasukkan kebijakan pentingnya pemberdayaan perempuan di bidang ekonomi dalam dokumen The Jakarta Concord. Semula, isu pemberdayaan perempuan tak pernah muncul secara spesifik, sementara begitu banyak perempuan menjadi subjek penting di kawasan Samudra Hindia.
Kita harus merepresentasikan cita-cita Kartini. Jangan lelah dan pudar, meski seolah tak didukung atmosfer di mana kita berada dan tidak tahu kapan terealisasi. Seperti halnya Kartini mengawali langkah perjuangan dari area isu lokal di abad lalu. Kartini tak tahu jika menjadi adi isu dan kebijakan global. Sementara, kita tak boleh berhenti bangga pada Kartini. Tetapi harus terus mengawal, apakah kebijakan global yang diadopsi kembali ke Indonesia itu - alias pulang kandang -- telah maksimal membuahkan hasil seperti yang dicitakan Kartini?