SECARA tidak terduga, dalam HUT ke- 17 Banteng Muda Indonesia beberapa waktu lalu, Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri mengungkapkan kepenatannya bergelut di dunia politik. Ungkapan yang mengisyaratkan sekaligus menegaskan adanya sinyal kuat dari Megawati untuk pensiun dari dunia politik. Pernyataan ini sekaligus pertanda bagi kaum muda PDI Perjuangan untuk bersiap mengambil alih kepemimpinan partai.
Sinyal positif itu menjadi bukti adanya upaya peremajaan partai politik yang selama ini harus diakui masih disesaki kaum tua. Hal itu sebenarnya bisa dilacak dari minimnya pemberian kesempatan kepada kaum muda untuk membangun budaya meritokrasi di lingkungan internal kepartaian. Dengan kata lain kaum muda masih sulit mendapat ruang yang memadai dalam partai politik guna menyalurkan aspirasi politik masing-masing. Inilah yang seringkali menyeruak terutama dalam setiap suksesi kepemimpinan partai. Karena itu, acapkali kita temui perpecahan partai karena ketidakmampuan figur pemimpin partai dalam mengelola regenerasi yang berakhir pada menguatnya faksionalisme.
Positif
Dengan kata lain peremajaan ini menjadi hal yang positif bagi masa depan partai yang seringkali masih bergulat dengan budaya patronase dan kuatnya cengkeraman figur tua pada pucuk kepemimpinan partai. Dikatakan demikian karena partai tidak lebih dari sekadar institusi pemuja figur ketimbang ideologi. Padahal realita ini berdampak dapat menggerus elektabilitas. Dari situlah kemudian sosok figur pemimpin partai dianggap lebih penting ketimbang ideologi partai.
Persoalan laten itulah yang kemudian mendesak diperlukannya figur pemersatu partai guna mengelola dan meredam benih-benih konflik internal. Hal itulah yang kemudian terbaca dari model kepemimpinan politik di Indonesia yang nyatanya belum mampu menjadi figur pemersatu dan lebih berkutat pada watak figur pengelola. Bila ditelaah ada beberapa model kepemimpinan politik menurut Herbert Feith, dalam buku The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia (1962). Pertama, tipe administrator (pengelola) yakni sosok yang memiliki kemampuan teknis dalam mengatur organisasi. Tipe itu umumnya diwakili figur terdidik yang menguasai suatu bidang tertentu serta ahli dalam pengelolaan organisatoris, tapi memiliki kelemahan dalam meraih simpati dan atensi publik. Sebab biasanya tipe pengelola tidak memiliki elektabilitas yang cukup mumpuni untuk menarik apalagi mempengaruhi atensi publik. Kedua, tipe pemersatu (solidarity maker) yakni sosok figur yang mampu mendekati, mempengaruhi hingga mendapatkan perhatian dan atensi publik. Para pemimpin dengan tipe pemersatu biasanya cukup mumpuni dalam menarik dukungan dan atensi hingga kemudian berhasil mempengaruhi publik. Tapi kelemahannya seringkali mengalami kesulitan dalam proses pengelolaan organisasi.
Menurut Herbert Feith tipe pemimpin pengelola terdapat pada sosok Muhammad Hatta, sedangkan tipe pemimpin pemersatu dapat ditemui dari sosok Soekarno. Meski demikian kedua karakter kepemimpinan politik itu sangat jarang dimiliki oleh seorang figur politik. Artinya, bila kita cermati model kepemimpinan Megawati dalam menakhodai PDI Perjuangan, tentulah lebih menganut tipe pemersatu. Hal itu tampak dari beragam kebijakan Megawati yang lebih mengutamakan solidaritas dalam internal partai yang sangat menyerupai model kepemimpinan Soekarno. Tidak ayal kemudian tipe pemersatu membuat faksi-faksi yang ada di partai berlambang moncong putih dapat bekerja dengan mengedepankan sinergisitas dan tentunya meminimalisir konflik.
Mewarisi
Jika dirangkum beragam fakta tersebut, menegaskan bahwa hanya figur-figur muda yang memiliki tipe pemersatu yang layak menggantikan posisi Megawati guna menjaga keberlangsungan PDI Perjuangan ke depan. Tanpa tipe pemersatu, akan sulit bagi PDI Perjuangan untuk tetap menjadi partai yang dapat mewarisi nilainilai Soekarnoisme. Meski demikian model kepemimpinan solidary maker tetap perlu ditopang dengan kekuatan ideologi yang tujuannya untuk menjadi roh pergerakan partai.