MEMBICARAKAN demokrasi tidak akan bisa dilepaskan dari membicarakan soal pemilu. Karena, pemilu adalah salah satu cara paling beradab untuk menyalurkan kehendak rakyat yang merupakan hakikat dari demokrasi. Tanpa pemilu, mustahil negara dan pemerintahannya disebut demokratis. Namun, pemilu bukan satusatunya elemen demokrasi. Ada banyak elemen lain yang menopang suatu kehidupan dalam suatu negara disebut sebagai kehidupan yang demokratis.
Meskipun sebagai salah satu elemen demokrasi, pemilu menyita perhatian banyak pihak terutama para politisi. Bagi politisi, pemilu adalah ‘medan perang’ sesungguhnya untuk memenangkan kontestasi jabatan publik yang diperebutkan. Semakin banyak jabatan publik yang mampu direbut sebuah partai politik, secara tidak langsung akan menaikkan pamor partai politik. Itulah tujuan akhir yang dikejar partai politik dan para politisi.
Kendati merupakan elemen penting demokrasi, pemilu atau kebijakan kepemiluan pascareformasi belum beranjak pada bagaimana mewujudkan demokrasi yang sesungguhnya. Pembuatan kebijakan kepemiluan lebih banyak diarahkan pada penataan prosedur, daripada pelembagaan demokrasi di tataran rakyat yang lebih mantap. Rakyat banyak ditinggalkan partai politik dan politisi saat membahas aturan main kepemiluan. Pesta demokrasi yang semestinya terwujud dalam suatu tatanan kepemiluan yang berkeadaban, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan, berubah menjadi agenda ‘kepiluan’ bagi rakyat.
Bangunan demokrasi yang diimpikan rakyat ternyata tidak sama dengan istana demokrasi yang dipikirkan serta digagas partai politik dan politisi. Tengok saja praktik pembuatan kebijakan pemilu pascareformasi. Akan ditemukan sebuah kenyataan bahwa para politisi melakukan satu eksperimentasi di atas eksperimentasi yang lain. Kebijakan untuk Pemilu 1999 menjadi eksperimen untuk Pemilu 2004, begitu seterusnya hingga sekarang.
Mengapa demikian? Karena pemilu dipahami politisi hanya sebagai kendaraan merebut kekuasaan an sich. Bukan sarana untuk memberdayakan dan mencerdaskan rakyat dalam berpolitik. Padahal, rakyat yang berdaya secara politik adalah salah satu ciri dari tegaknya demokrasi.
Akibatnya, pascareformasi, penataan pemilu mengalami bongkar pasang sedemikian rupa baik dari aspek penyelenggara, peserta maupun penyelenggaraannya. Tidak berlebihan jika dikatakan setiap periode pemilu pascareformasi, selalu saja ada pergantian undang-undang kepemiluan, seperti yang terjadi sekarang ini. Undang-undang pemilu disinyalir hanya berlaku efektif 2 - 3 tahun. Apa alasan, kalau bukan demi memuaskan syahwat politik kelompok partai politik pemenang?
Pertama, aspek penyelenggara. Sejak Pemilu 1999, keanggotaan, kedudukan, kewenangan penyelenggara berbeda antara satu pemilu dengan pemilu yang lainnya. Beruntung, penataan kelembagaan pemilu saat ini sudah cukup baik meski belum sepenuhnya efisien. Sayangnya, hal yang sudah relatif baik ini patut diduga akan dirusak lagi oleh DPR. Manakala mengesahkan dibolehkannya anggota/- pengurus partai politik menjadi anggota KPU.
Kedua, aspek peserta. DPR terlihat sangat bersemangat untuk menguasai lembaga-lembaga perwakilan. Hal ini dengan adanya rencana dibolehkannya anggota/pengurus partai politik mencalonkan menjadi anggota DPD. Padahal, DPD adalah perorangan wakil daerah bukan representasi partai politik.