Dalam pelaksanaan atau penjabaran suatu konsep konservasi, perlu ditetapkan sejumlah tolok ukur (kriteria) dan motivasi. Namun yang jelas, kesepakatan tersebut perlu dilandasi motivasi-motivasi seperti upaya untuk mempertahankan budaya nenek moyang atau warisan sejarah agar dapat menangkap kembali makna kultural.
Konservasi juga harus tetap mempertahankan latar visualnya, seperti : bentuk, skala, warna, tekstur, dan bahan bangunannya. Setiap perubahan baru yang diperkirakan berpengaruh negatif terhadap latar visualnya, harus dicegah.
Kendala yang dihadapi misalnya, dalam situasi macam apakah seseorang (pemilik) boleh dipaksa untuk melestarikan, padahal untuk penghancurannya akan memberikan keuntungan (profit) yang lebih banyak? Siapa yang harus membiayainya ? Dan tak kalah menariknya, secara politis, siapakah yang berhak menentukan bangunan mana yang harus dilestarikan, apakah seorang birokrat, arsitek, sejarawan, politisi, dan sebagainya.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut jelas memerlukan jawaban yang pasti, kalau tidak ingin terjebak kepada romantisme masa lalu belaka, atau hanya memfungsikan bangunanbangunan atau kawasan tersebut sekadarnya, tanpa mampu menangkap makna kultural yang sangat dalam itu.
(Saratri Wilonoyudho. Penulis adalah Pengajar MK Sosiologi Kota dan Manajemen Kota. Anggota Dewan Riset Daerah Jawa Tengah. Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Sabtu 15 April 2017)