DPD Diracuni Partai Politik

Photo Author
- Senin, 10 April 2017 | 10:29 WIB

PROSES pemilihan Ketua DPD baru yang dianggap cacat norma, berpotensi melahirkan saling gugat di pengadilan. Pangkal cacat norma ini dapat dilacak dari proses pemilihan pimpinan DPD RI baru yang diduga kuat melanggar amar putusan Mahkamah Agung (MA) Perkara No 38/ P/HUM/2016 dan Perkara Nomor 20/ P/ HUM/2017. Pada intinya menyatakan, Tatib DPD No1/2016 dan Tatib DPD No1/2017 yang dijadikan dasar pemilihan pimpinan DPD baru sudah tidak lagi berlaku. Amar putusan MA ini melarang masa jabatan ketua DPD RI dikorting dari 5 tahun menjadi 2,5 tahun. MA berpendapat bahwa berdasarkan norma dalam ketentuan UU No 17/2014 tentang MPR, DPD dan DPR (UU MD3) masa jabatan lembaga tinggi negara (MPR, DPD dan DPR).

Pangkal cacat berikutnya secara konstitusional (berdasarkan UUD 1945) adalah bahwa posisi DPD RI tidak ditempatkan sebagai lembaga setara dengan DPR RI. Keduanya kendati sama-sama dipilih secara langsung dan demokratis oleh rakyat, namun dalam soal otoritas dan kewenangannya sangat berbeda. DPD RI tidak diberi otoritas dalam hal pengawasan, anggaran dan legislasi sebagaimana DPR RI. DPD RI hanya diberi otoritas dalam masalahmasalah kedaerahan.

Dalam soal pembuatan produk legislasi (UU) DPD RI hanya diberi ruang dalam pengusulan dan pembahasan, namun dilarang ikut dalam pengesahan UU. MK RI telah membuat amar putusan agar posisi DPD RI dan DPR RI disetarakan dalam pembuatan produk UU. Namun hingga hari ini tak diguris DPR RI. Dalam soal komposisi keanggotaan UUD 1945 hanya berjumlah 2/3 dari keanggotaan DPR RI, yakni 560 anggota DPR berbanding 120 anggota DPD RI. Setiap provinsi hanya boleh diwakili 4 orang anggota DPD tanpa memandang besar kecilnya jumlah penduduk setiap provinsi.

Cacat konstitusional berikutnya syarat keanggotaan DPD RI tidak secara tegas menyatakan, angggota DPD RI berasal dari partai politik (parpol) atau bukan. Akibatnya anggota kini sebagian besar adalah anggota parpol, sehingga tak ada bedanya antara DPD dan DPR. Padahal secara philosofis jika merujuk pada perdebatan PAH I BP MPR RI saat melakukan amandemen UUD 1945 jelas dinyatakan bahwa DPD dibuat untuk mewakili kepentingan daerah (senator). Sedangkan DPR dibuat untuk mewakili partai politik (kongres). Sehingga keduanya memiliki fungsi yang berbeda. Idealnya anggota DPD dilarang berasal dari partai politik.

Banyaknya anggota DPD yang berasal dari partai politik ini termasuk ketua baru Oesman Sapta Oedong (Ketua Partai Hanura) membuat DPD kehilangan fungsi elan vitalnya, salah satunya adalah perilaku parpol telah meracuni DPD. Kisruh pemilihan pimpinan DPD RI kali ini juga dipicu oleh campur tangan sebagian elite partai politik yang menanam saham untuk Pemilu 2019 mendatang.

Kisruh pemilihan pimpinan DPD RI yang baru kali tidak dapat pisahkan dari pembacaan, bahwa konstitusi telah turut menyumbangnya. Itulah sebabnya perlu dilakukan upaya penyelamatan DPD agar tetap menjadi lembaga yang terhormat dan berwibawa di mata rakyat. Karena harus diakui pascakisruh pemilihan pimpinan DPD RI kemarin telah menjadikan DPD tidak lagi dipercaya rakyat. Sehingga kerap muncul opini agar DPD dibubarkan saja.

Pembubaran DPD tentu sangat membahayakan jalannya demokrasi yang telah lama kita impikan agar terjadi kesinambungan relasi keterwakilan daerah dan keterwakilan politik di lembaga tinggi negara. DPD dihadirkan sebagai ruang ekspresi politik kedaerahan yang diharapkan akan mampu membawa aspirasi dan isu-isu kedaerahan dalam sistem pembangunan nasional. Jika DPD dibubarkan selain akan merusak bangunan konstitusi juga akan berpotensi merongrong wibawa negara.

Jalan yang tersedia untuk memulihkan wibawa adalah perlunya DPD dipulihkan dari racun partai politik. Sehingga anggota DPD di masa depan adalah non partisan dan diisi dari putra-putri terbaik daerah yang memiliki kepedulian terhadap pembangunan daerah. Cara yang paling rasional adalah melakukan amandemen kelima UUD 1945 terhadap pasal-pasal yang mengebiri DPD agar setara dengan DPR. Dan dijauhkan dari racun partai politik.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: ivan

Tags

Rekomendasi

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB
X