NTP Makin ‘Ndlosor’

Photo Author
- Jumat, 7 April 2017 | 10:41 WIB

KETIKA elite pertanian ramai berteriak tentang kedaulatan pangan, bangsa ini dikejutkan berita yang sangat dzalim: merosotnya Nilai Tukar Petani (NTP). Disebut kejutan karena ironis dengan jargon-jargon: pro-rakyat kecil, membangun dari pinggiran, revolusi mental, swasembada pangan, kedaulatan, dan sebagainya. Meski sebenarnya, kemerosotan NTP tesebut, mudah sekali diramalkan dari kinerja tataniaga yang mencekam para petani bulan-bulan terakhir ini. Sementara itu, disebut dzalim karena itulah resultante dari segala macam upaya pembangunan pertanian nasional.

Sebut saja beras. Karena tataniaganya didasarkan pada Inpres 05/2015, pasar perberasan nasional jadi kacau. Kecuali besarannya sangat tidak memadai dan kalah besar dengan harga pasar, proporsi harganya pun tidak masuk akal. Masih ada pilihan saat itu, ketika masuk ke pasar bebas masih ada peluang. Akan tetapi, ketika negara meluncurkan kebijakan Pengembangan Usaha Pangan Masyarakat (PUPM), sejak 2016, yang bentuknya memberi subsidi Gapoktan agar supaya bekerjasama dengan Toko Tani (TT) untuk bisa menjual beras dan pangan murah sekitar angka-angka dalam Inpres yang tidak masuk akal proporsinya. Maka tidak lagi ada pilihan bagi petani untuk tidak menjual dalam bentuk gabah dan murah.

Contoh lain, Oktober-Nopember 2016, dihentakkan oleh berita kartel poultry yang beranggotakan 12 pengusaha ternak ayam yang bersepakat melakukan afkir dini terhadap indukan ayam. Tujuannya mengurangi pasok Day Old Chicken (DOC), kuthuk ayam. Sehingga di kemudian hari harga telur dan daging ayam meningkat tinggi. Kartel yang 70% penguasaan pasarnya pada dua perusahaan besar saja memang telah diputus pengadilan bersalah dan kena denda yang tidak sedikit. Tetapi dampak pasarnya terasa berat.

Bukan berarti afkir dini itu boleh dibenarkan. Akan tetapi ketidakjelasan proyeksi populasi pasok dan harganya sungguh sangat tidak cermat. Faktanya, harga daging dan telur ayam sangat merosot. Dan tentu imbasnya pada para petani kecil. Yang kecuali menanam padi sebagai pilihan utama usaha taninya, juga beternak ayam sebagai sambilannya. Kalau harga telur dan daging ayam produk peternakan besar itu turun harganya, sudah pasti harga telur dan daging ayam apapun terimbas turun. Dalam urusan kesejahteraan, ayam dan beras ini nyata.

Mau bercocoktanam sayur-mayur dan buah-buahan? Tentu sebagian besar petani melakukannya. Meski semuanya juga tahu bahwa dua kelompok komoditas ini penuh ketidakpastian pasar. Terlebih ketika buah pisang raja hijau dan jeruk keprok telah dijajah oleh importasi. Sudah bisa dibayangkan, makin kenceng impor makin murah harga produk lokal yang dihasilkan oleh para petani yang kesejahteraannya baru dibangun negara.

Kesejahteraan dibangun, tetapi harga beras-telur-daging ayam-sayur mayur-buah dan macam-macam lagi produk petani RI tidak pernah beranjak. Sementara harga barang konsumsi petani sedah pasti merangkak naik mengikuti perjalanan waktu. Sudah pasti akan memunculkan tidak simetrisnya dinamika harga, dengan kemerosotan NTP sebagai hasil akhirnya. NTP adalah ukuran kesejahteraan petani. Kemerosotan nilainya tentu menunjukkan kemerosotan kesejahteraan. Kalau hal ini menjadi realitas yang terjadi pada hari ini tentu perlu koreksi kebijakan dan pemihakan manakala memang pemerintah beriktikad mensejahterakan petani.

Aneka program pangan Pemerintah RI memang indah. Stabilisasi, cadangan pangan Ramadan, swasembada, kedaulatan pangan, dan sebagainya jelas indah terdengar. Akan tetapi prasyarat adalah, bahwa kesemuanya itu tetap harus mengedepankan kepentingan membangun kesejahteraan petani. Tidak ada kompromi ketika kebijakan yang dilakukan tidak menjamin proteksi kesejahteraan petani. Kebijakan apapun dan atas dasar alasan apapun tidak bisa ditolerir ketika berimplikasi kemerosotan kesejahteraan petani.

Tentu adalah tanggung jawab pemerintah melalui para menteri untuk proteksi kesejahteraan sesuai mandatnya. Juga wajib bagi negara melakukan isolasi terhadap mafia, manipulasi dan aneka tidak normalnya tataniaga, ketika terjadi. Karena kemerosotan harga yang tidak bisa diatasi tersebut berpengaruh luar biasa terhadap makin ndlosor-nya NTP. Itulah yang terjadi jikalau persoalan eksternal dan manipulasi tataniaga tidak bisa atasi. Untuk mediasi itulah gunanya negara dan para menteri Kabinet Kerja RI.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: ivan

Tags

Rekomendasi

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB
X