Budaya Jawa, Ilmiah atau Filosofis?

Photo Author
- Senin, 3 April 2017 | 17:48 WIB

BEBERAPA bulan belakangan ini saya lumayan sering menghadiri seminar, diskusi tentang bahasa, sastra, ataupun materi tema kejawaan secara umum. Namun justru semakin timbul keresahan-keresahan dalam diri saya tentang nasib budaya Jawa saat ini. 15 tahun yang lalu, saya pernah menulis artikel di koran tentang keresahan saya sebagai mahasiswa Sastra Jawa semester awal dalam menghadapi segala permasalahan budaya Jawa di masyarakat. Ternyata sekarang masih tetap resah, dan permasalah dalam kebudayaan Jawa tersebut tak kunjung mendapatkan solusi.

Kita semua menyadari dan mengetahui bahwa isu tentang kemerosotan, kepudaran, kepunahan bahasa, sastra, budaya Jawa ini adalah topik renyah yang selalu saja dikeluhkan semua generasi selama lebih dari 500 tahun ini di Jawa. Kerinduan dan impian kita akan kemegahan dan kemahsyuran era Borobudur, Prambanan, Majapahit sebegitu menggebu-gebu. Lalu bermunculan berbagai ide, gagasan, gerakan (yang bahkan kadang provokatif karena difasilitasi dengan baik oleh sosial media) tentang renaissance atau kebangkitan era kejayaan Majapahit, kelahiran kembali karya-karya sastra Jawa yang brilian, mekar sarinya kembali budaya Jawa yang lestari. Sayapun mengamini hal tersebut, namun juga rupanya agak khawatir dengan progresnya.

Bukankah tidak seharusnya saya pesimis? Sebagai orang yang diberi tanggung jawab gelar sarjana Sastra Jawa UGM semestinya saya berdiri di barisan paling depan untuk itu. Memang tidak pernah ada kesurutan niat sedikitpun untuk bergabung dalam pasukan “penyelamat” budaya Jawa tersebut dalam diri saya pribadi, lilahi ta’ala, lahir batin. Lha wong saya ini termasuk sedikit orang yang mantap jiwa memilih sastra Jawa sebagai jurusan utama dalam tes masuk perguruan Tinggi (dulu masih bernama UMPTN). Tapi kan semua langkah, apalagi untuk menghadapi “peperangan” seperti ini, butuh strategi yang jitu supaya tujuan kita berhasil, dan senjata yang dipilih tepat sasaran bukan malah jadi bumerang senjata makan tuan.

Kita harus berhati-hati dan bijak dalam ambisi melestarikan kembali budaya Jawa. Jangan sampai kemanteben lalu jadi cenderung chauvinis, menyenggol kebhinekaan, memaksakan kehendak dumeh suku mayoritas lalu menyerempet isu SARA, bersinggungan dengan agama dan kepercayaan lain, kan bahaya bro...Kita tahu sendiri, budaya Jawa itu terlanjur terjepit dalam sensitifitas keyakinan atau keimanan yang sentimentil di dalam masyarakat saat ini. Jangan sampai citra klenik, mistis, gaib yang selama ini sudah membungkus budaya Jawa justru memperparah dan mempersulit perjuangan kita melestarikan kejawaan. Menyadari posisi budaya Jawa yang sudah sedemikian rupa, maka dalam setiap seminar atau diskusi selalu saya utarakan bahwa keilmiahan tentang kejawaan itu harus jadi prioritas utama dan berdiri di depan filsafat kejawaan.

Karakter filosofi kejawaan adalah awang-awang, tidak kasat mata, berorientasi pada ‘rasa’, ‘batiniah’, warisan kultur tutur sastra Jawa yang riskan berpotensi distorsi fakta. Hal-hal tersebut menjadikan filsafat kejawaan sangat rentan terhadap asumsi musrik, klenik, gaib, dan mistis. Bukan tidak mungkin nantinya (atau sudah?) akan muncul dalil, fatwa, pasal, undang-undang yang akan semakin mempersempit ruang gerak budaya Jawa, jika kita masih mengedepankan pendekatan filsafat Jawa dalam strategi melestarikan budaya Jawa. Memang salah satu keunggulan budaya Jawa dibanding budaya lain adalah filsafatnya, filosofinya, ‘rasa’-nya. Saya sangat menyetujui hal tersebut.

Namun dalam masalah saat ini, alangkah lebih baiknya jika kita memprioritaskan keilmuan sebagai senjata utama dalam cita-cita luhur ini. Dengan batasan ilmiah, kita mampu menangkis asumsi-asumsi negatif tentang kejawaan, kita akan mampu menjelaskan hal-hal eksplisit tentang kekayaan kejawaan dengan sumber pustaka yang gamblang dan ilmiah. Sehingga mampu menempatkan bahasa, sastra, dan kejawaan secara umum sebagai sebuah kajian ilmu yang terakses masyarakat, yang selama ini menyikapinya dengan sumber yang kurang jelas kajiannya. Konsep itulah yang selama ini diterapkan dalam dunia pengajaran dan menjadi kredo saya mempelajari bahasa, sastra, dan budaya Jawa. Pelajari ilmiahnya untuk bisa menguak tabir mistisme dalam kejawaan.

Pramoedya dalam buku Bumi Manusia bahkan dengan sadis menulis ; kalau suatu ketika bertemu orang Jawa yang terpelajar, pujilah ketinggian filsafatnya, kebatinannya, filosofinya tentang keris, wayang, gamelan, tari, aksara dan bahasanya. Kalau dia antusias dan membenarkan pujian tersebut maka tidak akan tercapai apapun keterpelajarannya. Lalu jika dia termakan pujian dan semakin terbuai dengan kejayaan Jawa masa lalu maka disitulah kekalahan kebudayaan Jawa, dengan filosofi yang melenakan untuk dikonsumsi masyarakat melebihi keingintahuan akan ilmu pengetahuan.

Padahal di dunia luar kondisi sudah sedemikian rupa, sudah lebih dari 5 abad bangsa Jawa tertindas, terjajah, dan terdesak oleh budaya lain yang lebih maju, inovatif, dan kreatif. Bangsa yang menjadi bangsa besar adalah bangsa yang mampu memberi sumbangsih pada dunia. Dalam hal apapun kita harus mengakui kejayaan Eropa pasca renaissance, kita harus mengacungi jempol bangsa Arab dan China yang menyebar luas hampir ke separuh dunia. Lalu apa sumbangsih bangsa Jawa pasca kehancuran majapahit? Kita semakin terbelakang dan selalu terbuai filsafat Jawa, tanpa pernah menciptakan teknologi lagi. Ingat ada era dimana kemajuan teknologi metalurgi Jawa mencapai puncaknya dengan menciptakan keris, gamelan, dan inovasi alat-alat pertanian (pacul, luku, arit), lalu saat bangsa Jawa mengeksplorasi tekstil menjadi batik dan tatah wayang kulit, dimana setiap penemuan teknologi pasti akan memunculkan kosakata baru untuk menamai teknologi tersebut. Itulah salah satu prinsip dasar perkembangan sebuah bahasa dan budaya. Selain juga bangsa yang bertualang (menjajah) adalah bangsa yang mampu mengembangkan bahasa dan budayanya. Singosari dan Majapahit menaklukkan hampir seluruh Asean di kala itu.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Ary B Prass

Tags

Rekomendasi

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB
X