DINAS Pendidikan Kota Yogyakarta sedang gencar mendorong kreativitas guru dalam menyusun sistematika pembelajaran berbasis pendidikan karakter. Salah satu indikator pendidikan karakter yang sedang diupayakan adalah penanaman etika berlalu lintas terhadap para siswa di sekolah dasar. Dinas Pendidikan Kota Yogya menginisiasi lomba membuat bahan ajar yang diikuti tiga puluh guru SD se-Kota Yogya (Kedaulatan Rakyat 29/3). Harapannya, guru dapat menciptakan bahan ajar yang bukan hanya memuat khazanah pengetahuan, melainkan juga sarat nilai dan makna.
Paradigma lama yang menganggap sekolah hanya menyentuh ranah transfer of knowledge mesti lekas dikikis dan diganti dengan paradigma baru yang lebih esensial, yakni sekolah sebagai mode transfer of value. Upaya Dinas Pendidikan Kota Yogya untuk menanamkan etika berlalu lintas sejak dini diharapkan dapat menjadi stimulan bagi pembaharuan paradigma pendidikan.
Stigma
Selama ini, masih mengakar stigma bahwa pelaksanaan pembelajaran di sekolah hanya berkisar pada latihan-latihan skolastik yang bermuatan kognitif rendah seperti mengenal, membandingkan, dan menghafal. Stigma pandir yang berdampak pada peyorasi hakikat pendidikan. Kini, pendidikan lebih sering dimaknai secara sempit sebagai ‘persekolahan’ maupun ‘pengajaran di ruang kelas’. Bahkan, makna pendidikan kerap dipersempit lagi menjadi penyampaian materi kurikulum yang hanya berorientasi pada pencapaian target ujian nasional (Helena, 2008).
Lembaga pendidikan formal memegang peran sentral untuk melakukan reposisi makna pendidikan. Hakikat pendidikan harus bertumpu pada pekerti, tanpa menanggalkan aspek kognisi. Untuk mewujudkannya, sekolah tidak dapat berjalan sendirian. Perlu ada sinergi antara keluarga, sekolah, dan masyarakat sebagai Tri Pusat Pendidikan. Keluarga, sekolah, dan masyarakat harus berjalan segendang-sepenarian dalam melaksanakan proses asih-asah-asuh peserta didik. Tri Pusat Pendidikan harus berkelindan dalam satu relasi yang holistis.
Keluarga merupakan peletak fondasi pembentukan karakter anak. Sementara sekolah berperan memperkuat karakter positif peserta didik. Keterlibatan masyarakat harus disadari sebagai fundamental, meski kini peran masyarakat acapkali terbatas pada dukungan fisik saja, yakni untuk iuran pembangunan, perbaikan, dan perawatan gedung. Seyogianya, peran masyarakat mulai dikembangkan ke dalam bidang teknis edukatif, misalnya: menjadi guru yang diperbantukan untuk mengajar kebudayaan, tradisi, dan kearifan lokal setempat.
Peran Strategis
Orangtua adalah penopang utama kesuksesan pembelajaran di sekolah. Tingkat pendapatan keluarga dan latar belakang pendidikan, menurut penelitian, tidak terlalu berpengaruh signifikan bagi keberhasilan peserta didik, dibandingkan minat dan dukungan orangtua. Maka sekolah dan keluarga harus manunggal dalam mengupayakan pendidikan anak. Proses pendidikan dan dukungan keluarga harus tetap berjalan intensif meski anak telah mengenyam pendidikan formal di sekolahan.