AKSI kriminal terhadap anak semakin meresahkan para orangtua. Keselamatan jiwa dari anak menjadi kecemasan mendasar dari orangtua jika terjadi sesuatu terhadap anak tersebut. Aksinya pun telah beberapa kali terjadi di wilayah Yogyakarta dan sekitar, dalam kurun waktu yang berdekatan. Salah satunya, seperti dimuat surat kabar Kedaulatan Rakyat tanggal 25 Maret 2017 berjudul ‘Gigit Tangan Pelaku, Nay Lolos Dari Penculikan’. Dalam berita tersebut dijelaskan usaha sigap Nay melakukan perlawanan dengan cara menggigit jari pelaku. Sigapnya Nay dalam melakukan perlawanan karena dia telah diberi pengertian oleh ibunya bahwa yang akan menjadi penjemputnya sepulang sekolah adalah ayah, ibu dan kakek. Upaya itu menunjukkan peran efektif orangtua mengajarkan kewaspadaan. Langkah ini hendaknya perlu diikuti orangtua lain.
Dalam kebudayaan Jawa, anak dikatakan durung ngerti dan durung njawa yang menggambarkan kondisi mental seseorang yang belum beradab, belum mampu mengendalikan perasaan sebagaimana orang dewasa. Dapat dikatakan, belum mampu berbasa-basi dengan uraian tata krama yang tepat sesuai kondisi yang dialami menurut Hildred Geertz (1982) dalam buku berjudul Keluarga Jawa. Posisi yang demikian membuat anak rentan dimanfaatkan orang lain yang tidak bertanggung jawab. Hal ini akan menimbulkan dampak psikologis yang menghambat tumbuhkembang anak.
Partisipasi Wali Murid
Cerita keberhasilan Ibu Nay dalam mengajarkan kewaspadaan bisa dibagikan kepada orangtua murid lain. Sayangnya koordinasi antar orangtua murid belum terjalin dengan baik. Tindak kriminal terhadap anak bukti bahwa pengawasan terhadap anak bersifat individual. Maksudnya adalah, anak tersebut tanggung jawab masing-masing orangtua murid atau wali murid. Mereka hanya dipersatukan oleh keberadaan anak di sekolah yang sama. Pertemuan yang terjalin antarorangtua hanya berlangsung dalam kondisi tertentu seperti daftar ulang, pengambilan rapor, dan rapat-rapat administrasi. Padahal dengan koordinasi yang baik, itu akan memupuk rasa peduli antarorangtua. Rasa peduli merupakan bekal menumbuhkan kesadaran untuk ikut mengawasi dan menjaga murid lain.
Sekolah perlu menjadi wadah berkumpul orangtua murid agar mereka saling mengenal dengan baik. Sebagai wadah tentu sekolah perlu mengimplementasikan konsep srawung seperti dalam budaya masyarakat Jawa. Konsep itu bisa dimanfaatkan untuk saling bertukar pikiran antarorangtua. Srawung merupakan usaha mengakrabkan diri yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang dengan yang lain. Poin penting yang ditekankan srawung adalah saling bercerita, bertukar informasi. Cerita yang dibangun tergantung kebutuhan, namun karena ini terkait aksi kriminal terhadap anak, maka tema pembicaraan diharapkan seputar itu.
Dengan srawung diharapkan hubungan antara sekolah dengan orangtua murid semakin kuat. Manfaat lain yang diperoleh ialah data lebih akurat terkait perkembangan belajar anak, termasuk kendala yang dihadapi dan solusi yang bisa diberikan. Minimnya koordinasi, kemudian beban kerja berlebih dari guru membuat semua murid tidak bisa diawasi mendalam. Disinilah peran orangtua untuk melengkapi pengawasan guru.
Jalur Keamanan
Titik rawan tindak kriminal pada anak terjadi saat ia tidak memiliki kejelasan perlindungan dari institusi yang menaunginya, baik dari keluarga, masyarakat, dan sekolah. Contohnya saat dia berangkat dan pulang sekolah, les, dan ikut kegiatan ekstrakurikuler. Untuk menanggulanginya, diperlukan pengawasan partisipasi. Jika dalam kebencanaan ada jalur evakuasi, yang memberikan rute aman bagi orang untuk menyelamatkan diri menuju titik kumpul, maka di sekolah juga perlu ada pemetaan titik-titik aman yang bisa dilalui siswa.