FORUM Rektor Indonesia dan Guru Besar Antikorupsi menolak upaya pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lewat revisi Undang-undang KPK Nomor 30 Tahun 2002. Revisi tersebut meliputi beberapa hal, di antaranya, munculnya Dewan Pengawas, pengaturan penyadapan, KPK tidak dapat melakukan pengangkatan penyidik independen, hingga penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Artinya revisi ini berpotensi membuat KPK kian mandul dihadapan predator korupsi. Itu mengapa upaya revisi ini telah memicu protes publik dan netizen, termasuk para akademisi kampus.
Apalagi kita ketahui bersama bahwa kehadiran lembaga antirasuah seperti KPK setidaknya dapat menjadi ujung tombak terpenting dalam memberantas sindrom habitus korupsi suap. Dengan catatan lembaga terkait tetap berada dalam koridor independensi, bersih dan tentunya imparsial. Namun, dengan banyaknya pihak yang mencoba menyerang KPK, menjadi pembuktian bila institusi ini tengah berada dalam situasi darurat. Sebab dengan melakukan pembiaran terhadap revisi UU KPK sama artinya membiarkan kehancuran lembaga antirasuah. Padahal, mengutip Jon ST Quah dalam Curbing Corruption in Asian Countries (2013), bahwa lembaga anti-rasuah seperti KPK inilah yang mampu memberantas korupsi seperti di negara Singapura dan Hongkong.
‘Hypercorruption’
Selain itu, peran dan fungsi KPK untuk melawan predator korupsi sangat efektif. Bahkan eksistensi KPK akan kian menjadi penentu masa depan pemberantasan korupsi di Indonesia sekaligus mewujudkan demokrasi tanpa korupsi. Hal itu diperkuat oleh ulasan John Girling dalam bukunya Corruption, Capitalism and Democracy (1997). Girling menilai korupsi bukan semata-mata persoalan moral individual, melainkan problem yang telah melekat dalam struktur ekonomi-politik. Sehingga dalam banyak hal wabah korupsi semakin terbentuk secara terstruktur dan sistematis.
Hal itu makin relevan bila direlasikan dengan pendapat Luis Moreno Ocampo (ed.) dalam En Defensa Propia: CÛmo Salir de la CorruptiÛn (1993), yang menilai bahwa korupsi yang tak lagi menghiraukan aturan main sama sekali, dapat disebut hypercorruption, bahkan telah menyerupai kecanduan minuman keras. Korupsi yang sudah memasuki stadium hypercorruption akan membawa implikasi yang sangat berbahaya. Karena akan menimbulkan kerugian ekonomi, politik serta sosial. Sebab, kekayaan negara dan kekuasaan akan jatuh ke tangan orang-orang yang tidak berhak.
Artinya, bila ke depan stadium hypercorruption tidak segera diantisipasi dengan beragam penolakan maka apa yang dikhawatirkan oleh sejumlah kalangan bahwa gejala kleptokrasi dan Indonesia akan menjadi surga bagi para koruptor akan segera menjadi kenyataan. Mengutip Prof Tengku Jacob dalam bukunya Tragedi Negara Kesatuan Kleptokratis (2004), negara Indonesia telah berubah dari negara demokrasi menjadi kleptokrasi. Kleptokrasi adalah pemerintahan in-egaliter yang sama sekali tidak adil. Inti kleptokrasi adalah memindahkan kekayaan nasional dari rakyat kepada lapisan atas yang berkuasa, politikus, birokrasi, penguasa dan pemilik modal.
Dibatalkan
Gelagat menguatnya gejala kleptokrasi sudah terlihat dari berbagai upaya pelemahan termasuk manuver melakukan revisi UU KPK. Artinya cara-cara tersebut makin menandai lahirnya siklus state capture corruption yang diyakini semakin menggurita. Sebab lembaga pemberantasan korupsi sudah tidak lagi mampu dan ‘dipercaya’ menjadi lembaga pembasmi yang bersih dari jejaring korupsi-suap. Sebab, dalam nalar kleptokrasi, berbagai praktik kebusukan akan semakin ditutupi oleh kebusukan. Rekayasa akan ditutupi oleh rekayasa yang didukung oleh legalitas hukum. Eksesnya politisi dan para predator korupsi kian leluasa berkoalisi dan membangun konsensus bersama untuk bahu-membahu merampas uang rakyat tanpa rasa bersalah sekalipun.