Pasal 28 Konstitusi melindungi hak setiap warga negara dalam melontarkan pikiran. Dengan terbitnya aturan ini, sebagian orang mengartikan kebebasan berpendapat boleh dilakukan, meski tanpa dibekali kapasitas dan kredibilitas. Mereka menyamakan suara profesor dengan orang yang tidak pernah mengenyam bangku pendidikan. Akibat persepsi tersebut, belakangan muncul problematika bangsa yang akut. Banyaknya kicauan ngawur lewat medsos memantik perselisihan antarumat. Mereka lihai memanfaatkan perangkat teknologi, namun gagap ketika mencerna konten informasi. Padahal, supaya demokrasi berjalan pada relnya, harus ada kearifan, kesadaran, serta mawas diri.
Selama ratusan tahun, harmoni terutama di pedesaan tercipta antara lain karena adanya rerasan. Mekanisme ini melindungi warga dari segala anasir hoax. Di samping menjadi alat kontrol sosial yang mengekang setiap individu dari pelanggaran norma, rerasan juga berfungsi menepis berita sesat. Lantaran dilakukan secara berkelompok, rerasan selalu diuji validitas dan keabsahannya. Apalagi, dekatnya objek pemberitaan memudahkan masyarakat untuk memeriksa ketepatan muatan berita.
Demi membentuk generasi virtual yang cerdas, penggunaan rerasan dalam ‘bungkus’ lama memang kurang relevan. Akan tetapi, rerasan dapat dihidupkan kembali dengan format baru dan ideal. Kontrol sosial dalam dunia maya, khususnya medsos, dapat dijalankan dengan menampilkan rerasan virtual. Sebelum menyebarkan berita, pengguna medsos dituntut untuk meninjau terlebih dahulu kebenarannya lewat sumber-sumber terpercaya. Ketika berdebat tentang tema-tema yang butuh pendalaman, lebih baik mereka menggandeng para pakar. Jika wacana ini terwujud, niscaya semua orang bisa berteriak lantang: ìSelamat tinggal hoax!â€
(Riza Multazam Luthfy. Peneliti desa, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum UII Yogyakarta. Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Kamis 23 Maret 2017)