Selain menabrak UU Pers, larangan tayangan langsung sidang pengadilan yang terbuka, juga menabrak UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Dalam UU No 14 tahun 2008 tentang KIP, disebutkan bahwa informasi publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik lainnya yang sesuai dengan UU ini, serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik.
Sidang di pengadilan, termasuk kontennya, adalah informasi publik yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim dan diterima badan publik bernama Pengadilan Negeri. Dengan demikian informasi itu boleh diketahui publik. Kalaupun ada bagian-bagian yang dikecualikan/ dirahasiakan, dan tidak boleh diketahui publik, harus ada uji konsekuensinya.
Dalam proses uji konsekuensi (yang proses dan aturannya ada tersendiri) itu, ditentukan mana informasi yang boleh diketahui publik dan mana yang tidak boleh diketahui. Semua harus jelas dan hal itu harus dicantumkan dalam surat keputusan yang ditandatangani kepala badan publik bersangkutan. Dan sejauh yang diketahui, Kementerian Kehakiman belum pernah mengeluarkan SK tersebut.
Selama belum ada uji konsekuensinya, atau belum ada SK tentang informasi yang boleh dan tidak boleh diketahui publik dalam sidang pengadilan terbuka, maka informasi dalam sidang pengadilan masuk kategori informasi yang boleh diketahui publik. Oleh karena itu, larangan tayangan langsung sidang pengadilan, jelas menabrak UU Pers dan UU KIP.
(Sarworo Soeprapto. Peminat masalah sosial dan budaya, mantan Anggota KIPP DIY. Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Rabu 22 Maret 2017)